Perjanjian Bongaya: Latar Belakang, Tokoh, Isi, dan Dampaknya

Perjanjian Bongaya: Latar Belakang, Tokoh, Isi, dan Dampaknya
Ilustrasi Sejarah Perjanjian Bongaya. Via Histori.id

Isi Perjanjian Bongaya

Perjanjian ini berisi 30 rumusan yang sangat detail dan kompleks. Simak isi perjanjian sebagai berikut:

  1. Ada 2 perjanjian yang harus diberlakukan secara sah. Keduanya yaitu, perjanjian antara Karaeng Popo dan Dewan Hindia pada 19 Agustus 1660, serta perjanjian Pemerintah Makassar dengan Jacob Cau (Komisioner VOC) yang diresmikan tanggal 2 Desember 1990.
  2. Semua pejabat dan rakyat Eropa yang masih tinggal di Makassar harus segera dipulangkan kepada Laksamana Cornelis Speelman.
  3. Semua perlengkapan yang tersisa, termasuk meriam dan uang yang berasal dari kapal Walvisch dan Leeuwin, harus diberikan kepada kompeni.
  4. Siapapun yang terbukti bersalah telah membunuh warga Belanda, maka harus diadili dan diberi hukuman setimpal.
  5. Kerajaan Makassar diharuskan membayar uang ganti rugi serta hutang-hutangnya kepada kompeni, batas pembayaran yaitu musim berikut.
  6. Semua warga Portugis dan Inggris harus pergi dari tanah Makassar, tidak boleh ada yang tinggal dan berdagang.
  7. Hanya kompeni yang diperbolehkan berdagang di tanah Makassar. Selain warga Belanda, tidak ada yang boleh berdagang. Jika aturan ini dilanggar, maka barang dagangan akan menjadi sitaan kompeni.
  8. Kompeni tidak dibebankan dengan pembayaran pajak impor, ekspor, dan bea cukai.
  9. Wilayah yang boleh dikunjungi oleh Pemerintah dan warga Makassar diantaranya yaitu Bali, Jakarta, Jambi, Pantai Jawa, Banten, Johor, Palembang, dan Kalimantan. Perjalanan yang dilakukan harus berdasarkan izin dari Komandan Belanda yang ada di Makassar. Jika ada yang melanggar maka dianggap sebagai musuh. Terlebih lagi jika melakukan perjalanan menuju Solor, Bima dan Timor atau sekitarnya, maka mereka harus menebusnya dengan nyawa dan harta.
  10. Semua benteng yang ada di Makassar harus dihancurkan, kecuali Benteng Somba Opu yang digunakan untuk Raja.
  11. Benteng Ujung Pandang beserta tanah di wilayah tersebut segera diserahkan kepada VOC atau kompeni. Benteng harus dalam keadaan baik tanpa kerusakan.
  12. Dalam berniaga di Makassar, harus menggunakan koin Belanda yang bentuknya sama seperti di Batavia.
  13. Raja serta bangsawan diharuskan mengirim uang yang senilai dengan 1000 budak laki-laki dan perempuan ke wilayah Batavia. Uang ini menggunakan perhitungan 2 ½ tael atau setara dengan 40 emas. Sebagian dari setoran tersebut harus dikirim paling lambat bulan Juni, sedangkan sisanya harus sudah terkirim pada musim berikutnya.
  14. Raja maupun para bangsawan dari Makassar tidak diperbolehkan ikut campur segala urusan Bima serta wilayahnya.
  15. Raja Bima beserta Karaeng Bontomarannu harus dihukum oleh kompeni.
  16. Segala hal yang telah diambil oleh Sultan Butung saat penyerangan terakhir di Makassar, harus segera dikembalikan. Sedangkan yang telah meninggal atau tidak memungkinkan untuk dikembalikan, maka diganti dengan kompensasi.
  17. Untuk Sultan Ternate, semua orang dan senjata (senapan dan meriam) yang telah diambil dari Kepulauan Sula, harus segera dikembalikan. Sedangkan untuk Gowa, mereka harus melepaskan apa yang menjadi keinginannya, yaitu menguasai tempat-tempat yang sebelumnya dikuasai oleh Raja Ternate, Tempat tersebut diantaranya Kepulauan Selayar, Pansiano, seluruh pantai timur di Sulawesi, Banggai, Kepulauan Gapi, Mandar, serta Manado.
  18. Kerajaan Gowa harus bersedia menanggalkan kekuasaannya atas Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng (La Ténribali) beserta seluruh tanah dan rakyatnya harus segera dibebaskan. Begitu juga dengan Petinggi Bugis lainnya yang masih menjadi tawanan di Makassar, serta para wanita dan anak-anak yang ditahan Petinggi Gowa.
  19. Raja Layo, Bangkala, serta seluruh tanah milik Turatea dan Bajing harus segera dibebaskan.
  20. Seluruh tanah dari Bulo-Bulo sampai Turatea, serta tanah dari Turatea sampai Bungaya, semua tetap menjadi hak kompeni sebagai penakluknya.
  21. Pemerintah Gowa harus meninggalkan wilayah Wajo, Bulo-Bulo, dan Mandar. Pemerintah Gowa juga tidak diperkenankan membantu mereka, baik melalui tenaga manusia maupun dengan senjata.
  22. Bagi laki-laki asal Bugis dan Turatea yang telah menikah dengan perempuan Makassar, mereka bisa terus tinggal bersama. Namun selanjutnya, jika ada pernikahan diantara penduduk Makassar dan Bugis/Turatea, harus melalui izin penguasa yang berwenang.
  23. Pemerintah Gowa harus menutup akses ke wilayahnya untuk semua orang, kecuali kompeni atau Belanda. Mereka juga diwajibkan membantu Belanda melawan musuh.
  24. Persahabatan dan persekutuan harus ada di antara para penguasa. Penguasa atau Raja yang dimaksud yaitu yang berada di wilayah Makassar, Ternate, Bacan, Tidore, Butung, Soppeng, Bugis, Luwu, Turatea, Bajing, Layo, Bima, serta penguasa lainnya yang ingin bergabung.
  25. Jika ada konflik diantara anggota sekutu, maka Kapten Belanda (Fort Rotterdam) harus menengahinya. Jika ada yang tidak mengindahkan mediasi ini, maka akan mendapat perlakuan yang sesuai.
  26. Ketika perjanjian damai ini sudah disumpah, ditandatangani, dan diberi cap, maka Raja dan bangsawan dari Makassar diharuskan mengirim 2 wakilnya ke Batavia guna menyerahkan perjanjian resmi ini kepada Gubernur dan Dewan Hindia. Jika perjanjian ini tidak disetujui, maka Gubernur dapat menyandera 2 wakil tersebut selama rentang waktu yang tidak ditentukan.
  27. Semua orang Inggris yang berada di Makassar, harus menuju Batavia dengan membawa seluruh barang-barangnya.
  28. Apabila Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan dalam waktu 10 hari, baik hidup atau mati, maka putrinya harus ditahan.
  29. Pemerintah Gowa diharuskan membayar 250.000 rijksdaalders sebagai ganti rugi. Pembayaran bisa dengan meriam, emas, perak, permata, atau barang lainnya yang senilai. Pembayaran dilakukan selama 5 musim secara berturut-turut.
  30. Semua bangsawan, Raja Makassar, Laksamana, serta semua pihak yang tergabung dalam persekutuan ini diharuskan mengucap sumpah, menandatangani, serta membubuhi tanda (cap) pada rumusan perjanjian ini. Semua dilakukan atas nama Tuhan, dan mulai berlaku sejak Jumat, 18 November 1667.
Baca juga:  Sejarah Singkat Penolkan Kalangan Aktivis Terhadap Konsep Dwi Fungsi ABRI

Dampak dan Tokoh, lanjut halaman berikutnya >>>

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *