Cerpen  

Pemuda berkwalitas yang belum Abadi

Avatar photo

Porosmedia.com — Awalnya, setelah berkultivasi selama seratus tahun, orangnya bisa menjadi abadi dan meninggalkan dunia ini.
Pemuda ini telah berkultivasi selama ribuan tahun tapi masih belum menjadi abadi. Ia masih terlihat sangat muda.
Dia masih bersekolah.

Kondisi pegunungan di bagian barat laut Indonesia mirip dengan daerah primitif. Di sana tidak ada jalan raya, tidak ada mobil, bahkan jarang terlihat ada penghuni.

Di tengah-tengah pegunungan yang melingkar, terdapat sebuah rumah jerami yang sepi. Tanah kosong di luar rumah jerami ditanami banyak tanaman obat, hingga membuat aroma obat begitu semerbak di sekitarnya.

Ruang di dalam rumah bambu itu tidak begitu besar, di dalamnya hanya ada satu tempat tidur dan meja belajar. Meja belajar tersebut dipenuhi dengan buku dan berbagai jenis kertas bambu.

Saat ini, di atas tempat tidur terbaring seorang pria tua berambut putih. Mata pria itu tertutup erat dengan wajah yang tampak tenang.

Seorang remaja yang tampaknya baru berusia tujuh belas atau delapan belas tahun sedang duduk di tepi tempat tidur.
“Adnan, aku benar-benar iri padamu. Kamu baru berumur delapan puluh satu tahun dan kamu sudah bisa pergi dengan tenang.” Malik menatap orang tua yang baru saja meninggal di atas tempat tidur. Malik tersenyum tipis sambil berbicara sendiri.

“Ah, aku benar-benar sengsara, entah berapa tahun lagi aku masih harus hidup,” keluh Malik sambil menghela napas panjang. Selain rasa sakit di matanya, apa yang lebih menonjol adalah rasa putus asanya.

Kurang lebih sudah lima ribu tahun sejak dirinya memasuki dunia kultivasi hingga saat ini.

Selama periode panjang ini, Malik tidak bisa mati dan tingkat alam kekuatannya pun tidak ada peningkatan satu tingkat pun.

Dia yang telah berlatih selama hampir lima ribu tahun, masih berada pada Tahap Pemurnian Chi!
Ya, benar, Tahap Pemurnian Chi! Tahap paling dasar di dunia kultivasi!
Menurut standar yang ketat, Tahap Pemurnian Chi bahkan tidak bisa dianggap sebagai suatu tahap, tetapi hanya bisa dianggap sebagai masa pengolahan tubuh.

Hanya setelah pembentukan dasar, seseorang baru benar-benar bisa memasuki dunia kultivasi dewa.
Namun, Malik, terus-menerus terjebak di Tahap Pemurnian Chi dan tidak mampu maju satu langkah pun.

Selama ribuan tahun, Malik sudah mengonsumsi ribuan Pil Fondasi Dasar tetapi sama sekali tidak ada khasiatnya.
Seribu tahun yang lalu, guru Malik menenangkannya. Guru berkata karena akar spiritual Malik lebih kuat dari siapa pun, karena itulah dia harus menunggu lebih lama di Tahap Pemurnian Chi.
Namun sudah seribu tahun berlalu, Malik masih belum bisa menembus ke Tahap Fondasi Dasar.

Pada saat itu, gurunya juga mulai merasa apakah dirinya salah, apakah sebenarnya Malik hanya seorang manusia biasa tanpa akar spiritual?
Namun, bagaimana mungkin seorang manusia biasa bisa hidup selama ribuan tahun, bahkan tanpa tanda-tanda penuaan?

Kemudian, guru Malik pun berhasil melewati ujian bencana dan berubah menjadi dewa, meninggalkan bumi.
Setelah itu, tak ada yang memedulikan keadaan Malik lagi.

Seiring berjalannya waktu, sumber daya spiritual chi di bumi makin menipis.
Dalam dunia ini, bahkan jika Malik bisa menembus batas, dia pasti tidak bisa bertahan melalui ujian bencana dan menjadi dewa.

Baca juga:  Cerpen : Penghuni Gelap

Namun, Malik juga tidak pernah berpikir untuk melewati ujian bencana dan menjadi seorang dewa. Dia hanya ingin melewati Tahap Pemurnian Chi yang menyebalkan ini!
Inilah ambisinya.

Sampai hari ini, dia telah berlatih hingga mencapai Tahap Pemurnian Chi ke-9.832. Sedangkan para kultivator biasa, mereka hanya perlu berlatih hingga lapisan ke-12 untuk bisa menembus Tahap Fondasi Dasar.

Suasana hati Malik menjadi agak murung begitu teringat akan berlatih kultivasi.

Dia menghirup napas dalam-dalam, berdiri, dan menatap selembaran kertas kasar di atas meja tulis yang penuh dengan berbagai resep obat.

“Kalau saja aku tahu kamu akan menjadi seorang pecandu obat seperti ini, dulu aku tidak seharusnya mengajarimu teknik pengobatan!” ujar Malik sambil menggelengkan kepalanya dengan putus asa.

Sesuai dengan keinginan terakhir Adnan, resep obat-obatan ini harus dirapikan lalu dibawa pergi.

Malik baru saja mulai merapikan resep-resep itu, dia mendengar suara langkah kaki yang bising. Alhasil, Malik pun segera mengangkat kepalanya, melihat ke arah sebuah jendela rumah jerami.
Adnan bahkan telah membangun rumah jerami di tempat seperti ini, bagaimana bisa ada orang lain yang menemukannya?

Malik sedikit mengernyitkan dahinya.
Setelah sepuluh menit kemudian, sekelompok orang tiba di depan rumah jerami.

Ada tujuh orang, di antaranya ada dua orang muda laki-laki dan perempuan, seorang tua yang duduk di kursi roda, dan empat orang pria berpakaian setelan jas, tubuh berotot. Mereka berempat tampak seperti pengawal pribadi.

Pria tua itu duduk lemas di kursi roda dengan aura yang seolah-olah hampir meninggal. Setelah melihatnya, Malik langsung tahu, pasti mereka datang untuk mencari bantuan pengobatan.
“Tabib Adnan, halo, namaku Andre Tama, kami dari keluarga Tama di Seramang. Kami ingin meminta Tabib …” Pria muda yang tampan itu berjalan ke depan dan berbicara dengan keras.

Malik mendorong pintu dan memotong ucapannya.

“Kalian datang terlambat, Adnan baru saja meninggal dunia.”
Apa!?
Raut wajah semua orang di sana langsung berubah.
Mereka susah payah mencari Tabib Adnan … dia ternyata sudah meninggal dunia!?

“Bagaimana, bagaimana bisa …” Wajah Andre menjadi pucat, dia menatap Malik dengan tatapan bingung.
Demi mengobati penyakit serius yang diderita oleh Pak Tama, mereka memanfaatkan semua sumber daya keluarga, menghabiskan banyak tenaga dan materi sampai akhirnya mengetahui keberadaan Tabib Adnan yang telah hidup terisolasi selama hampir dua puluh tahun lamanya.

Setelah melalui berbagai tantangan dan kesulitan, mereka akhirnya menemukan rumah jerami tempat Adnantinggal. Namun, siapa sangka, berita yang mereka dapat justru seperti ini!
“Bagaimana bisa begitu kebetulan? Kami baru saja menemukannya …. Tidak, Tabib Adnan pasti belum meninggal! Dia hanya menghindar dan tidak ingin bertemu kami saja!” Gadis muda dengan penampilan cantik dan matanya yang merah berkata dengan emosional.

“Ya! Pasti Tabib masih berada di dalam rumah jerami!” Cahaya penuh harap berkilauan di mata Andre, dia langsung melangkah masuk ke dalam rumah jerami.

Kemudian, dia melihat Adnan yang terbaring di tempat tidur dengan mata tertutup erat.
Andre dengan serius mengamati, lalu menyadari bahwa orang tua di tempat tidur itu memang sudah tidak bernapas lagi.

“Bagaimana, bagaimana ini bisa terjadi ….” Hanya rasa putus asa yang dirasakan oleh Andre, seluruh kekuatannya seolah hilang.

Baca juga:  Pertemuan Raden Patah dengan Ayahnya, Raja Majapahit 

“Aku sudah bilang. Adnan sudah meninggal, kalian bisa pulang sekarang.” Malik tampak sedikit mengerutkan kening. Dia agak kesal dengan tindakan Andre yang datang ke rumah jerami.
Andre tiba-tiba terpikirkan sesuatu, lalu dia menoleh ke Malik dan bertanya, “Kamu adalah murid dari Tabib, ‘kan? Kamu pasti mewarisi ilmu pengobatan Tabib. Tolong obati kakek kami, selama bisa sembuh, kami bersedia membayar berapa pun harganya!”

Malik menggelengkan kepala dan menjawab, “Aku bukan muridnya … aku hanya teman lamanya saja.”
Sebenarnya, jika dilihat secara ketat, Malik bisa dibilang sebagai guru Adnan.
Saat berusia lima belas tahun, Adnan mulai menekuni dunia pengobatan di bawah bimbingan Malik. Tentu saja, hal ini tidak perlu diceritakan karena tidak akan ada yang percaya jika diceritakan.
Namun, bahkan istilah teman lama pun terasa aneh.

Sekilas saja terlihat, Malik masih berusia sekitar 20 tahunan sementara Adnan berusia lebih dari 80 tahun. Kedua orang tersebut pasti tidak berada di usia yang sama, bagaimana mungkin mereka bisa disebut sebagai teman lama?

Namun, pada saat itu tidak ada yang berpikir secara mendalam. Semua orang tenggelam dalam keputusasaan yang timbul dari harapan yang telah hancur.
Pak Tama yang duduk di kursi roda benar-benar kehilangan semangat hidup setelah mendengar berita tentang kematian Adnan. Matanya terlihat kosong dan putus asa.

Inilah takdir! Waktunya telah tiba! Tidak perlu berjuang lagi!
Seorang gadis muda tampak sedih dan menangis saat melihat kakeknya seperti itu.

Malik menatap Pak Tama dengan alis yang mengerut sedikit, kemudian tiba-tiba berkata, “Kamu sudah hidup selama tujuh puluh tiga tahun, sudah cukup bukan? Kenapa masih mau terus hidup?”
Semua orang tampak terkejut mendengar kalimat ini. Mereka bertanya-tanya bagaimana mungkin Malik tahu usia Pak Tama.

Namun, mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Malik barusan, ekspresi wajah mereka berubah.
Sudah cukup hidup?
Di dunia ini, di mana ada orang yang merasa sudah cukup hidup?
Apa maksudnya?
Provokasi? Menyindir?
“Dasar bajingan, apa maksudmu!?” Wajah Andre tampak sangat kesal, dia memukul dada Malik.

Pandangan mata Malik bergerak sedikit, tetapi tubuhnya tidak bergerak.
“Bam!”

Tinju Andre belum menyentuh Malik, justru tubuh Andre yang mendapatkan kejutan serangan balik hingga membuat seluruh tubuhnya terbang ke belakang dan jatuh ke tanah.

Ekspresi semua orang di sana seketika berubah, mereka terkejut bukan main.
Jelas bahwa Andre yang meninju, tetapi remaja ini bahkan tidak bergerak, bagaimana bisa malah Andre yang jatuh ke tanah?

“Kakak!” teriak gadis cantik itu.
Empat pengawal itu merespons. Mereka segera mundur beberapa langkah dan berjalan ke depan Malik.

“Jangan bergerak!” Pria tua yang duduk di kursi roda, Pak Tama memerintah dengan suara serak.
Empat pengawal segera menghentikan langkah mereka.

Andre memegang dadanya, bangkit dari tanah dan menatap Malik dengan mata penuh rasa terkejut.
“Dik, kami minta maaf, boleh aku tahu siapa namamu?” tanya Pak Tama.
“Malik,” jawab Malik.

Pak Tama mengangguk pelan dan mulai berbicara, “Tadi adik kecil, kamu bertanya kepada aku kenapa aku masih ingin terus hidup, aku bisa menjawabnya.”

“Semua itu karena aku masih ingin terus menemani keluarga saya, aku ingin melihat cucu-cucu aku tumbuh besar. aku ingin melihat mereka berkeluarga dan berbisnis, melihat mereka melahirkan keturunan …. Bukankah semua orang seperti itu? Menjaga dari generasi ke generasi,” ujar Pak Tama sambil senyum.

Baca juga:  Biografi Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani

“Kakek ….” Mendengar kata-kata dari Pak Tama, gadis di sebelahnya menjadi lebih sedih dan menangis.
Tatapan Malik bergerak sedikit.
Bagi dirinya, keluarga adalah sesuatu yang sudah lama berlalu. Namun, bagi manusia biasa, keluarga adalah sesuatu yang selalu ada, dari generasi ke generasi.

Akan tetapi, sebagian besar orang biasa, siapa yang tidak ingin hidup sedikit lebih lama?

“Kamu mengidap kanker paru-paru stadium akhir, ‘kan? Hidupmu kurang dari tiga bulan lagi, nikmatilah sisa waktumu,” kata Malik.
Berputar kembali ke rumah jerami, Malik pun menutup pintu dengan rapat.
Namun, keluarga Tama dan orang-orang di sekitarnya tampak terperangah.
Bagaimana Malik bisa melihat dengan sekilas dan mengetahui bahwa Pak Tama telah menderita kanker paru-paru?

Selain itu, ucapannya sama dengan para dokter, bahwa Pak Tama hanya memiliki sisa hidup kurang dari tiga bulan?
Dia, memang murid Tabib!
Setelah tersadar kembali, Andre sekali lagi mengetuk pintu rumah jerami, berteriak, “Tuan Malik, Tuan pasti murid Tabib, ‘kan? Tolong obati kakek saya, kami ….”

“Hidup dan mati ditentukan oleh takdir. Kalian pergi sekarang juga, atau jangan salahkan aku kalau aku bertindak kasar.” Suara tenang Malik terdengar dari dalam rumah bambu.

“Seorang tabib bertugas menolong siapa pun. Bagaimana kamu bisa melihat kematian tanpa mencoba menyelamatkannya,” kata Andre dengan marah.

“Andre, kembali,” ujar Pak Tama memulai pembicaraan.
“Kakek!” Mata Andre memerah, berbalik dan memandang Pak Tama.
“Apa yang dikatakan adik ini benar, hidup dan mati adalah takdir. Kalau Tuhan menginginkanku mati, bagaimana aku bisa tidak mati? Mari kita pergi,” ujar Pak Tama.

“Adikku, aku sangat menghormati Tuan Adnan, tidak menyangka Tuan Adnan sudah meninggal dunia. Kedatangan kami hari ini sudah mengganggu Tuan Adnan. Kami turut berduka cita, semoga roh Tuan Adnan di surga tidak menyalahkan kamu,” ujar Pak Tama dengan tulus.

Setelah berbicara, dia mengajak orang-orang berbalik dan pergi.
Meskipun Andre merasa tidak rela, tetapi dia tidak punya pilihan lain selain pergi karena perintah dari Pak Tama.
Di perjalanan pulang, semua orang terdiam dalam suasana sangat muram.
Andre menyadari adik di sampingnya tampak berpikir keras. Alhasil, dia pun mengerutkan alis dan bertanya, “Clara, apa yang sedang kamu pikirkan?”

Dengan alis yang agak berkerut, Clara bergumam, “Aku selalu merasa … ada sesuatu yang familiar tentang Malik ini, seolah-olah aku pernah melihatnya di suatu tempat.”

“Bagaimana mungkin? Ini adalah pertama kalinya kita datang ke daerah barat laut, bagaimana mungkin kamu sudah pernah bertemu dengan Malik ini sebelumnya?” tanya Andre.
“Betul juga …. Tapi, aku benar-benar merasa agak familiar,” ujar Clara sambil menggosok pelipisnya.

Andre sedang berada dalam suasana hati yang buruk. Dia tidak lagi memperhatikan Clara, hanya berpikir bahwa Clara sudah salah orang.
Namun, setelah berjalan beberapa langkah lagi, Clara tiba-tiba menghentikan langkahnya.
“Aku, aku ingat sekarang, aku pernah bertemu dia di sekolah!”