Pelecehan Konstitusional: Dedi Mulyadi, Musrenbang, dan Alarm Demokrasi yang Dinyalakan R. Gatot Kertabudi

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung — Pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dalam forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) baru-baru ini kembali menyalakan bara kontroversi yang mengusik akal sehat demokrasi. Dengan enteng, sang Gubernur menyatakan bahwa ia tak perlu melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam proses penyusunan kebijakan pembangunan. Ucapan itu bukan saja menjadi pemantik aksi walk out Fraksi PDI Perjuangan, tetapi juga membangkitkan kegelisahan sipil, termasuk dari R. Gatot Kertabudi, aktivis senior dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Relawan Indonesia (ARI), saat ditemui di kediamannya (Antapani- Bandung), 19 Mei 2025,

Bagi Gatot, pernyataan Dedi Mulyadi bukan sekadar kealpaan etika birokrasi, tetapi bentuk nyata—pelecehan terhadap lembaga legislatif yang secara konstitusional memegang mandat pengawasan dan penganggaran. Dalam tatanan demokrasi yang sehat, relasi antara eksekutif dan legislatif bukanlah ornamen seremonial. Ia merupakan tulang punggung check and balance yang mencegah akumulasi kekuasaan. Maka ketika seorang Gubernur merasa cukup memerintah tanpa berkonsultasi dengan wakil rakyat, sesungguhnya ia tengah menggerus fondasi demokrasi dari dalam.

Sosok Gatot Kertabudi sendiri bukan figur sembarangan. Berasal dari Bandung, Jawa Barat, Gatot dikenal luas sebagai aktivis sosial, intelektual progresif, dan arsitek berbagai gerakan sipil paska reformasi. Kini menjabat sebagai Sekjen ARI—sebuah aliansi lintas sektor yang memadukan kerja advokasi, edukasi, dan aksi sosial—Gatot menjadi motor penggerak narasi rakyat dalam gelanggang politik yang makin elitis.

Baca juga:  Kalau Bukan Keturunan Nabi, Mengapa Mereka yang Jadi Raja?

Ia tidak hanya vokal, tetapi juga memiliki kerangka berpikir sistemik. Dalam berbagai forum nasional, termasuk simposium tata kelola pemerintahan yang digelar Lembaga Administrasi Negara, Gatot konsisten menyerukan bahwa demokrasi bukanlah ritual lima tahunan, melainkan mekanisme partisipatif harian yang wajib melibatkan rakyat dari kampung hingga kota, dari musrenbang desa hingga kebijakan strategis provinsi.

Maka ketika DPRD Jawa Barat hanya mampu melahirkan satu reaksi melalui walk out fraksi PDIP, Gatot menggarisbawahi pentingnya membaca sikap itu sebagai isyarat serius—alarm politik bahwa terjadi pembelokan konstitusional oleh pemegang kekuasaan daerah. Lebih mengkhawatirkan, respons mayoritas fraksi yang memilih bungkam menciptakan preseden berbahaya: bahwa parlemen bisa diabaikan tanpa konsekuensi.

Hari ini seorang Gubernur merasa tak perlu melibatkan dewan, besok bukan tidak mungkin Bupati, Wali Kota, atau bahkan pejabat pusat mengikuti langkah serupa. Jika praktik ini dibiarkan, maka demokrasi hanya akan menjadi nama lain dari sentralisme kuasa yang membungkus otoritarianisme dengan jargon pembangunan.

Bagi Gatot, Musrenbang sejatinya adalah ruang deliberatif, bukan panggung monolog pemimpin yang merasa mahatahu. Ketika suara rakyat diwakili oleh DPRD diabaikan, ketika forum perencanaan hanya menjadi stempel legalitas sepihak, maka yang tengah terjadi adalah penghianatan terhadap semangat gotong royong pembangunan.

Baca juga:  FPPI Sepakati Berperan Aktif dan Pengabdiannya Pada NKRI

Sebagai bakal calon Gubernur Jawa Barat melalui jalur independen, R. Gatot Kertabudi membawa tawaran kontras. Ia menekankan pentingnya keterjangkauan harga kebutuhan pokok, perbaikan nasib buruh, petani, peternak, serta nelayan. Pembangunan, baginya, harus bersumber dari potensi lokal dan bertumpu pada prinsip partisipasi rakyat, bukan kehendak tunggal pemimpin.

Gatot kini menyerukan dua hal: pertama, agar seluruh fraksi di DPRD Jawa Barat bersikap tegas terhadap pelecehan konstitusi ini. Kedua, agar masyarakat tidak larut dalam narasi populisme pembangunan yang menutupi kecenderungan otoriter dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Apa yang disuarakan R. Gatot Kertabudi bukan sekadar kritik seorang aktivis. Ia adalah peringatan dari dalam demokrasi itu sendiri: bahwa jika suara rakyat terus dikebiri, maka tinggal menunggu waktu hingga demokrasi berubah menjadi ilusi.