Porosmedia.com, Jakarta – Dalam perkembangan kasus penganiayaan yang melibatkan toko roti Lindayes, terungkap serangkaian upaya sistematis untuk menghambat proses hukum sebelum akhirnya pihak Lindayes mengeluarkan “jurus terakhir” dengan mengorbankan pelaku – George Sugama Halim – melalui pernyataan kontroversial tentang kondisi mentalnya.
Kasus ini bermula dari viralnya video penganiayaan terhadap Dwi Ayu Dharmawati, seorang pegawai Lindayes Patisserie and Coffee, yang dilakukan oleh George Sugama Halim, putra pemilik toko tersebut. Namun, sebelum kasus ini mencapai tahap penangkapan pelaku, terungkap adanya dua skenario yang diduga kuat merupakan upaya penghalangan proses hukum.
Skenario pertama adalah penggunaan pengacara gadungan yang ternyata merupakan suruhan Linda Pantjawati, ibu dari George Sugama Halim sekaligus pemilik Lindayes.
Pengacara ini awalnya mengaku akan membantu Dwi Ayu, namun belakangan terbukti bekerja untuk kepentingan pihak pelaku. “Awalnya enggak tahu, terus pertemuan di Polres ngasih BAP terus di situ dia ngasih tahu kalau dia disuruh sama bos saya,” ungkap Dwi Ayu mengisahkan pengalamannya.
Setelah mengetahui hal tersebut, keluarga Dwi Ayu berusaha mencari bantuan hukum lain dengan mengorbankan satu-satunya sepeda motor yang mereka miliki.
Namun, pengacara kedua ini pun ternyata tidak memberikan kemajuan berarti dalam penanganan kasus. Bahkan, setelah menerima pembayaran, pengacara tersebut menghilang dan tidak bisa dihubungi lagi.
Skenario kedua yang terungkap adalah adanya upaya intervensi di tingkat kepolisian. Hal ini terbukti dari ditolaknya laporan Dwi Ayu di dua polsek berbeda, sebuah kejadian yang sangat tidak wajar mengingat bukti-bukti yang ada termasuk rekaman video penganiayaan.
Kasus ini sempat mandek selama dua bulan sejak pelaporan pertama pada 17 Oktober 2024.
Titik balik kasus ini terjadi ketika Dwi Ayu akhirnya mendapatkan pendampingan dari pengacara Zaenuddin pada 15 Desember 2024.
Berkat pendampingan hukum yang tepat, kasus ini akhirnya naik ke tahap penyidikan dan berujung pada penangkapan George Sugama Halim di sebuah hotel di Sukabumi, Jawa Barat.
Setelah kedua skenario penghalangan proses hukum gagal dan tekanan publik semakin kuat, pihak Lindayes akhirnya mengeluarkan “jurus terakhir” mereka: sebuah pernyataan kontroversial yang justru mengorbankan George Sugama Halim sendiri.
Melalui unggahan di media sosial, Lindayes mengklaim bahwa George memiliki “keterbelakangan kecerdasan IQ dan EQ yang sudah pernah dites.”
Lebih mengejutkan lagi, pernyataan tersebut juga mengungkapkan bahwa George pernah melakukan kekerasan terhadap keluarganya sendiri.
“Pemilik wanita pernah mengalami patah tulang lengan dan memar akibat dibanting oleh pelaku, dan adik laki-laki pelaku pernah mengalami luka di kepala,” tulis akun resmi Lindayes.
Kapolres Metro Jakarta Timur, Kombes Nicolas Ary Lilipaly, mengonfirmasi bahwa George kini telah resmi ditahan sejak 16 Desember 2024. Pihak kepolisian telah mengamankan sejumlah barang bukti, termasuk patung, loyang kue, mesin EDC, dan kursi yang digunakan dalam penganiayaan.
Hasil visum dari RS Polri Kramat Jati juga memperkuat bukti adanya tindak kekerasan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, motif penganiayaan terungkap sangat sepele: George marah karena permintaannya untuk diantarkan makanan ke kamar tidak dipenuhi oleh Dwi Ayu.
Lebih memprihatinkan lagi, pemeriksaan mengungkapkan bahwa ini bukan kasus pertama – George diduga telah berulang kali melakukan kekerasan terhadap para pegawai.
Saat dihadirkan dalam ungkap kasus di Mapolres Metro Jakarta Timur, George yang mengenakan baju tahanan hanya bisa berkata “Khilaf, saya khilaf.” Dia lebih banyak tertunduk dan terlihat mengusap matanya, menolak memberikan komentar lebih lanjut tentang kejadian tersebut.
Atas perbuatannya, George terancam dijerat dengan Pasal 351 ayat 1 KUHP, dan atau Pasal 351 ayat 2 KUHP, UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Hukum Pidana dengan ancaman pidana di atas 5 tahun penjara.
Kasus ini menjadi sorotan publik tidak hanya karena tindak kekerasannya, tetapi juga karena terungkapnya upaya-upaya sistematis untuk menghalangi proses hukum.
Dukungan masyarakat yang masif terhadap Dwi Ayu akhirnya membuahkan hasil. Viralnya kasus ini di media sosial memaksa aparat penegak hukum untuk bertindak tegas, membuka kedok upaya-upaya penghalangan proses hukum, dan akhirnya membawa pelaku ke hadapan hukum.
Namun, pernyataan terakhir Lindayes yang mencoba memposisikan George sebagai seseorang dengan keterbatasan mental justru menimbulkan pertanyaan baru: mengapa informasi ini baru diungkapkan setelah kasus viral dan tekanan publik menguat?
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya peran media sosial dan dukungan publik dalam mengawal proses hukum, sekaligus menunjukkan bahwa upaya-upaya penghalangan proses hukum, sekuat apapun, dapat dikalahkan oleh tekanan publik yang konsisten memperjuangkan keadilan.
Bagi anda yang sedang mencari keadilan, waspadalah bahwa penegak hukum di negeri ini lebih mungkin bekerjasama dengan penjahatnya, karena disanalah uang itu ada (RM 18/12/2024)