Porosmedia.com, Jakarta, 21 Mei 2025 –Spekulasi yang terus mengemuka tentang rencana merger dua raksasa platform digital, Grab dan GoTo, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menegaskan pentingnya pengawasan ketat untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran terhadap prinsip persaingan usaha yang sehat di Indonesia.
Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa, menyampaikan bahwa sistem pengawasan merger di Indonesia masih bersifat mandatory post-merger notification — pemberitahuan wajib setelah transaksi terjadi. Artinya, KPPU belum memiliki kewenangan untuk menilai transaksi yang masih dalam tahap perencanaan atau pembahasan. Pernyataan ini sekaligus menguak kelemahan fundamental dalam sistem pengawasan persaingan di tanah air yang selama ini jarang disorot secara terbuka.
“Selama transaksi masih bersifat spekulatif, kami belum bisa memberikan penilaian hukum. KPPU hanya dapat masuk jika pemberitahuan resmi diajukan, maksimal 30 hari sejak transaksi efektif,” tegas Fanshurullah dalam keterangan resminya.
Rencana merger Grab-GoTo sendiri—yang diperkirakan bernilai Rp114,8 triliun—telah menyita perhatian publik, termasuk investor dan regulator lintas negara. Namun, tanpa pemberitahuan resmi, KPPU berada dalam posisi pasif menunggu laporan, alih-alih proaktif mengantisipasi dampaknya sejak dini.
Meski begitu, KPPU tidak tinggal diam. Sebagai langkah antisipatif, lembaga ini mengklaim telah memulai penelitian internal untuk memetakan potensi dampak merger, sekaligus merumuskan opsi kebijakan penyesuaian. Ini termasuk penilaian atas kemungkinan hambatan masuk pasar, risiko terjadinya perilaku anti-kompetitif, efek efisiensi usaha, hingga dampaknya terhadap pelaku UMKM, inovasi teknologi, serta daya saing nasional.
“Pelaku usaha juga kami himbau untuk melakukan self-assessment. Jangan sampai strategi ekspansi bisnis justru melanggar prinsip fair competition,” lanjutnya. KPPU memperingatkan bahwa jika ditemukan pelanggaran, mereka berwenang menjatuhkan sanksi administratif hingga membatalkan transaksi merger.
Kekhawatiran publik tak lepas dari potensi lahirnya struktur pasar yang semakin terkonsentrasi, bahkan menjurus ke arah duopoli atau monopoli digital. Jika Grab dan GoTo—dua entitas dominan dalam layanan transportasi daring, pengiriman makanan, hingga fintech—bergabung, maka dikhawatirkan akan terjadi pemusatan kekuasaan pasar yang sulit ditandingi pelaku usaha lain, terutama UMKM digital.
Namun sayangnya, UU No. 5 Tahun 1999 dan Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2023 masih mengandalkan logika pasca-kejadian, bukan pra-kejadian. Dalam praktik global, banyak negara telah menerapkan sistem pre-merger review yang lebih tanggap dan preventif.
Langkah KPPU untuk mendorong konsultasi sukarela patut diapresiasi, namun belum cukup menjawab tantangan konkret di era digital saat ini. Ketika ekosistem teknologi semakin terkonsolidasi dan algoritma menjadi senjata dominasi pasar, negara tidak boleh hanya bertindak setelah “kekacauan” terjadi.
Karena itu, KPPU layaknya mencatat, momentum spekulasi merger ini harus menjadi alarm kebijakan: sudah saatnya Indonesia menggeser paradigma dari reaktif menjadi proaktif dalam pengawasan bisnis raksasa digital.