Porosmedia.com – Kota Bandung sering digambarkan sebagai kota kreatif, kota wisata, sekaligus kota pendidikan. Namun di balik citra tersebut, terdapat problematika serius yang belum kunjung terselesaikan. Dari korupsi, kegagalan program lingkungan, infrastruktur yang terbengkalai, hingga persoalan aset dan kesenjangan sosial—semuanya menuntut perhatian kritis.
Korupsi masih menjadi noda terbesar dalam pemerintahan Kota Bandung. Beberapa kasus yang menyeret mantan Wali Kota Yana Mulyana dalam dugaan suap proyek Bandung Smart City membuktikan bahwa praktik transaksional masih merajalela di balik program digitalisasi. Yana bukanlah satu-satunya. Sebelumnya, nama Ema Sumarna, Yosi Irianto, Edi Siswadi, Oknum Anggota DPRD Kota Bandung juga tercatat dalam daftar panjang kepala daerah Bandung yang terjerat kasus hukum.
Fenomena ini menunjukkan bahwa integritas birokrasi Kota Bandung kerap rapuh di hadapan proyek strategis bernilai besar. Jika persoalan korupsi tidak dibongkar sampai ke akarnya, publik akan terus kehilangan kepercayaan pada Pemkot, tak peduli siapa wali kotanya.
Sampah adalah masalah klasik Bandung. Program Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan) yang digadang-gadang sebagai terobosan besar ternyata tidak berjalan sesuai harapan. Data Pemkot menunjukkan tingkat pengurangan sampah hanya berkisar 8–9 persen per tahun, jauh dari target. Sosialisasi minim dan infrastruktur pendukung yang tidak memadai membuat program ini berjalan setengah hati.
Sementara itu, tumpukan sampah masih menghiasi pasar tradisional, aliran sungai, hingga sudut kota. Upaya alternatif seperti insinerator atau budidaya maggot belum mampu menjawab persoalan struktural. Ironisnya, kota yang dipromosikan sebagai smart city justru gagal menanggulangi masalah mendasar seperti sampah.
Kritik keras juga patut diarahkan pada pengelolaan infrastruktur. Banyak jalan di Kota Bandung rusak atau berlubang, bahkan pernah memicu gugatan warga terhadap Pemkot karena dianggap lalai menjaga keselamatan masyarakat.
Program Tempat Parkir Elektronik (TPE) yang diluncurkan sejak era Ridwan Kamil pun dinilai gagal total. Ratusan mesin parkir yang terpasang sebagian besar mangkrak, tak terawat, dan tidak ramah pengguna. Alih-alih menambah pendapatan daerah, justru muncul praktik pungutan liar di lapangan. Hal ini menjadi bukti bahwa kebijakan tanpa evaluasi hanya akan menambah daftar kegagalan.
Pengelolaan aset daerah juga jauh dari kata optimal. Kasus sengketa lahan Kebun Binatang Bandung hanyalah satu dari sekian persoalan. Banyak aset Pemkot yang tidak jelas status hukumnya, rentan berpindah tangan, dan pada akhirnya merugikan masyarakat.
Di sisi lain, DPRD Kota Bandung berulang kali menyoroti semakin lebar jurang antara si kaya dan si miskin. Kota ini memang identik dengan kafe mewah, kawasan elite, dan geliat industri kreatif, tetapi masih banyak warganya yang terjebak dalam kemiskinan struktural. Ketimpangan ini, jika dibiarkan, dapat berujung pada ketidakstabilan sosial.
Kota Bandung sedang berada di persimpangan jalan. Apakah akan terus terjebak dalam lingkaran korupsi, program gagal, dan kesenjangan sosial, atau justru berani melakukan reformasi nyata?
Pertanyaannya sederhana namun mendasar: sampai kapan Bandung hanya menjual citra kota kreatif, sementara warganya masih dihantui oleh masalah-masalah klasik yang tidak kunjung selesai?
Pemimpin Bandung ke depan harus berani memutus mata rantai korupsi, membenahi tata kelola sampah secara struktural, memperbaiki infrastruktur dengan serius, dan menutup jurang kesenjangan sosial. Tanpa langkah radikal itu, Bandung hanya akan menjadi etalase yang indah dari luar, tetapi rapuh di dalam.







