Ketika Pesantren Dijadikan Sasaran Narasi Politik — Sebuah Refleksi atas Pernyataan Gubernur Jabar

Avatar photo

Porosmedia.com – Pernyataan kontroversial yang diduga dilontarkan oleh Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), yang dinilai merendahkan pesantren dan komunitas santri, memicu reaksi keras dari para kyai, tokoh publik, dan peserta Musyawarah Besar (Mubes) Pondok Pesantren se-Jawa Barat. Sorotan tajam terhadap ucapan KDM bukan hanya soal substansi, tetapi juga menggambarkan relasi kuasa yang timpang antara negara dan lembaga keagamaan akar rumput.

Pesantren bukanlah institusi yang berdiri di ruang hampa. Ia tumbuh dari tradisi panjang perjuangan moral, sosial, dan kebangsaan. Dari sinilah, generasi pemikir, pejuang kemerdekaan, hingga penggerak masyarakat lahir—jauh sebelum negara ini mapan secara administratif. Maka ketika seorang pejabat negara mengeluarkan pernyataan yang dinilai mendiskreditkan pesantren, bukan hanya ketersinggungan yang muncul, tetapi juga kegelisahan ideologis tentang ke mana arah kepemimpinan Jawa Barat saat ini.

Salah satu peserta Mubes menyatakan lantang: “Pesantren adalah benteng moral bangsa. Dari sinilah lahir nilai-nilai kejuangan dan kebangsaan. Hari ini, pesantren hanya menuntut hak yang menjadi kewajiban negara.” Ucapan ini bukan retorika kosong, melainkan kritik mendalam atas sikap negara yang kerap abai terhadap kontribusi pesantren, tetapi cepat menyudutkannya dalam narasi politik.

Baca juga:  Waspada, ini bahaya Aplikasi "Koin Jagat" yang lagi Viral

Pernyataan-pernyataan Gubernur KDM, terlepas dari niatnya, perlu dievaluasi dalam konteks relasi kekuasaan dan sensitivitas sosial. Jika seorang pemimpin mengabaikan nilai simbolik dan historis pesantren, maka ia telah gagal memahami denyut nadi masyarakat yang dipimpinnya. Ironisnya, sikap seperti ini lahir di tengah era ketika negara justru sedang giat mengarusutamakan moderasi beragama dan penguatan karakter bangsa.

Lebih dari sekadar klarifikasi, yang dibutuhkan saat ini adalah tanggung jawab etik dari seorang kepala daerah. Gubernur tidak sekadar administrator wilayah, tetapi juga teladan dalam membangun narasi inklusif dan adil bagi seluruh kelompok masyarakat—termasuk komunitas pesantren. Masyarakat tidak butuh pemimpin yang pandai berbicara, tetapi pemimpin yang mampu merawat keragaman dan mendengar suara akar rumput.

Mubes Pondok Pesantren Jawa Barat telah menjadi ruang artikulasi perlawanan moral atas tendensi stigmatisasi terhadap lembaga pendidikan Islam tradisional. Di sinilah pentingnya kembali menimbang ulang relasi negara dan pesantren. Jangan sampai ketidakhati-hatian dalam ucapan pejabat publik justru melukai pilar penting yang selama ini menjadi penyangga keutuhan bangsa.

Baca juga:  Mungkinkah Kolaborasi terjadi antara PKB dan Gerindra di Pilkada Bandung

Sudah saatnya pemerintah daerah bersikap bijak, bukan hanya dalam kebijakan, tetapi juga dalam tutur kata. Jika tidak, maka yang lahir bukan hanya krisis kepercayaan, melainkan potensi polarisasi sosial yang lebih luas. Pesantren bukan hanya berhak dihormati, tetapi juga layak menjadi mitra strategis negara—bukan objek subordinasi wacana politik.