Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat – Koordinator Non-Litigasi Tim Advokasi Anti-Kriminalisasi Akademisi dan Aktivis
Porosmedia.com — Pernyataan Presiden Joko Widodo dalam tayangan program INTERUPSI yang dipandu Anisa Dasuki di iNews TV (Kamis, 22 Mei) patut dikritisi. Dalam video tersebut, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa ia “kasihan jika kasus ijazah palsu ini dibawa ke pengadilan.” Sebagai bagian dari tim advokasi yang concern terhadap supremasi hukum dan kejujuran pejabat publik, saya justru merasa kasihan—bukan hanya kepada Presiden Jokowi, tetapi juga kepada Bareskrim dan seluruh rakyat Indonesia.
1. Kasihan Jokowi: Jalan Panjang yang Tak Meyakinkan
Presiden Jokowi telah memilih jalan berliku dan melelahkan demi membuktikan keaslian ijazahnya kepada publik. Mulai dari pernyataan pengacara, kemudian mengundang media untuk melihat langsung ijazah, hingga terakhir menggunakan otoritas Bareskrim Mabes Polri untuk melakukan uji forensik dokumen.
Namun ironisnya, semua langkah itu tidak juga berhasil meyakinkan publik. Padahal ada cara yang sangat sederhana dan lugas: tunjukkan saja ijazah aslinya. Transparansi yang jujur akan jauh lebih bernilai ketimbang upaya meminjam otoritas kelembagaan negara.
2. Kasihan Bareskrim: Kerja Keras yang Terbentur Batas Prosedur
Bareskrim telah bekerja keras menanggapi pengaduan masyarakat (Dumas) dan melakukan uji forensik terhadap dokumen yang diyakini sebagai ijazah Presiden Jokowi. Namun harus dipahami, tindakan Bareskrim tidak bersifat pro justitia, sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam penindakan kasus pidana yang sebenarnya.
Sebaliknya, laporan Presiden Jokowi terhadap pihak-pihak yang diduga menyebar hoaks berada dalam ranah pro justitia dan ditangani oleh Polda Metro Jaya. Itu berarti, ijazah yang hendak dijadikan barang bukti harus melalui penyitaan resmi. Tidak bisa sekadar “ditunjukkan” atau “dipinjam” lalu dibawa pulang begitu saja.
3. Kasihan Rakyat: Terjebak dalam Drama Politik yang Tak Perlu
Yang paling merugi dalam kegaduhan ini adalah rakyat Indonesia. Energi bangsa terpecah hanya karena perkara administratif yang bisa diselesaikan dalam hitungan menit. Presiden Jokowi berkilah tidak memiliki kewajiban hukum untuk menunjukkan ijazah. Namun publik justru menanti moralitas dan keteladanan, bukan sekadar legalitas formal.
Kenapa Presiden Jokowi tidak menunjukkan ijazah aslinya secara transparan?
Kemungkinannya hanya dua:
Pertama, ia memang tidak memiliki ijazah asli, sehingga tak ada yang bisa ditunjukkan. Jika benar, ini persoalan serius menyangkut integritas pejabat negara.
Kedua, ia memilikinya, tetapi memilih menyembunyikannya. Jika demikian, sikap ini sama saja dengan mempermainkan rakyat dan membiarkan kegaduhan terus berlangsung demi kepentingan pribadi atau politik.
Apa pun motifnya, dampaknya nyata. Aktivis seperti Bambang Tri Mulyono dan Gus Nur menjadi korban dari ketertutupan informasi ini.