Porosmedia.com — Ketika pertama kali mendengar istilah “budak,” kita mungkin langsung membayangkan bahwa leluhur Nusantara adalah korbannya. Namun, kenyataan sejarah berbicara sebaliknya: leluhur Nusantara-lah yang mendatangkan budak dari tanah Afrika. Mereka berasal dari wilayah yang oleh orang Arab disebut “Biladil Zanj” atau Negeri Jenggi, yaitu kawasan pesisir timur Afrika seperti Kenya, Tanzania, hingga Mozambik.
Sejarawan Ibnu Batuta, dalam perjalanannya pada 1331, mencatat keberadaan Negeri Jenggi sebagai daerah yang ramai dihubungi kapal-kapal niaga dari seluruh dunia. Tak hanya itu, kisah mengenai orang Jenggi juga muncul dalam naskah-naskah kuno Nusantara, seperti prasasti Kañcana dari abad ke-9 dan prasasti Gandakuti dari abad ke-11, yang menyebut istilah “hulun jenggi” atau budak Jenggi.
Afrika ke Nusantara: Jalur Perdagangan yang Panjang
Orang Jenggi yang dibawa ke Nusantara sering dijadikan tenaga kerja kasar atau pelayan. Catatan Cina abad ke-9 bahkan menyebut hadiah kepada Kaisar Tang berupa burung eksotis dan empat budak Jenggi dari Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa perdagangan budak sudah menjadi praktik yang umum di kalangan kerajaan-kerajaan Nusantara. Orang-orang Jawa sendiri, sebagaimana dicatat oleh penjelajah Portugis pada abad ke-16, bahkan dikenal menjelajah hingga Madagaskar, menunjukkan hubungan dagang yang kuat dengan Afrika.
Dalam konteks ini, ketahanan fisik orang Jenggi sering disebut sebagai salah satu alasan utama mereka dipilih. Mereka dianggap mampu bekerja keras tanpa banyak keluhan. Selain itu, budaya mistis juga menempatkan mereka sebagai simbol kekuatan magis. Sebagian kerajaan bahkan percaya bahwa memelihara atau menjalin hubungan dengan mereka dapat memberikan perlindungan spiritual.
Jejak Perbudakan dalam Naskah dan Seni Nusantara
Selain prasasti, gambaran orang Jenggi juga ditemukan pada seni relief Candi Borobudur. Sosok berambut keriting yang digambarkan pada beberapa relief kerap diasosiasikan dengan orang Jenggi. Hingga era kolonial, orang Eropa melanjutkan praktik perbudakan ini. Mereka mengimpor budak dari Madagaskar untuk dipekerjakan di tambang-tambang emas Sumatra.
Tak hanya jejak fisik, orang Jenggi juga muncul dalam tradisi lisan dan sastra. Dalam Sanghyang Siksakandang Karesian (1518), istilah Jenggi disebut sebagai salah satu dari banyak bangsa yang dikenal Nusantara. Menariknya, naskah Sanghyang Sasana Mahaguru memberikan teguran terhadap praktik perbudakan, menyebutnya sebagai bagian dari “Trimala Wisesa” atau tiga dosa besar dalam kekuasaan.
Karma dan Refleksi dari Kisah Nyi Tanduran Gagang
Dalam konteks budaya Nusantara, kisah mitos sering dijadikan alat refleksi. Salah satu kisah yang menarik adalah cerita Nyi Tanduran Gagang dalam Babad Galuh. Diceritakan bahwa ia adalah seorang putri yang akhirnya menjadi “istri bergilir” para penguasa Nusantara sebelum dijadikan hadiah bagi penguasa Eropa. Konon, dari garis keturunannya lahirlah penguasa kolonial yang kemudian menjajah Nusantara selama berabad-abad.
Cerita ini kerap dihubungkan dengan konsep karma. Seolah-olah, penjajahan oleh bangsa Eropa adalah akibat dari dosa perbudakan yang dilakukan leluhur Nusantara terhadap orang-orang Jenggi. Sebuah pesan tersirat tampaknya ingin disampaikan: apa yang kita tanam di masa lalu akan kita tuai di masa depan.
Pelajaran untuk Bangsa yang Pernah Berjaya
Sejarah perbudakan orang Jenggi, pelayaran lintas samudra yang menghubungkan Nusantara dengan Afrika, hingga kisah penjajahan oleh bangsa Barat adalah pengingat bagi kita semua. Sebuah siklus karma mungkin telah kita jalani, dan sekarang adalah waktu untuk bangkit.
Dengan berbekal kesadaran sejarah, bangsa ini memiliki peluang untuk kembali berjaya, bukan dengan kekerasan atau penindasan, tetapi dengan semangat welas asih dan keadilan. Semoga dosa-dosa masa lalu telah terbayar, dan di masa depan kita menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan membawa terang bagi dunia.
#SejarahNusantara
#PerdaganganBudak
#JejakJenggi
#KarmaSejarah
#BangkitNusantara