Porosmedia.com — Kalau dihitung mulai dari dibentuknya pemerintahan Hindia Belanda hasil akuisisi dari kekuasaan VOC pada tahun 1800, sampai Hindia Belanda diambil alih oleh tentara Jepang pada tahun 1942, maka usia pemerintahan Hindia Belanda adalah 142 tahun, lebih lama dari usia negara Indonesia sekarang.
Secara fisik pemerintah kolonial Belanda berhasil menguasai wilayah nusantara, tapi secara non fisik gagal. Hal tersebut terbukti dari keberadaan mayoritas masyarakat Hindia Belanda yang masih menganut ajaran Islam sampai pemerintahan penguasa yang non muslim tersebut berakhir pada tahun 1942.
Telisik punya telisik, ternyata pemerintah kolonial takut dengan adanya kekuatan Islam. Perang Padri, perang Jawa(perang Diponegoro), perang Aceh adalah pengalaman untuk beralasan dari ketakutan tersebut.
Sebelum kedatangan seorang ilmuawan teologi bernama Snouck Hurgronje pada tahun 1889, untuk mengatasi phobia terhadap kekuatan Islam, pemerintah kolonial membatasi bahkan melarang aktifitas yang bersangkut paut dengan Islam.
Selama di Hindia Belanda Snouck Hurgronje melakukan penelitian terhadap kehidupan masyarakat muslim di Aceh dan di Jawa.
Berbekal pengetahuan saat mendalami Islam di Mekkah dan Jeddah, Snouck yang memakai nama Islam Abdul Ghaffar ini dengan mudah mendekati masyarakat muslim terutama para ulamanya.
Dalam penelitiannya, Snouck Hurgronje menyimpulkan dan memberi saran kepada pemerintah kolonial untuk tidak menjadikan Islam sebagai musuh dalam hal agama selama Islam tidak dijadikan doktrin politik.
Oleh karenanya, dia menyarankan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk merangkul masyarakat Islam dengan menjadikan masyarakat yang terpenuhi untuk menjalankan hak ibadahnya.
Dalam perang Aceh dia berpendapat bahwa pemerintah kolonial sampai kapanpun tidak akan berhasil menguasai Aceh selama melakukan dengan cara kekerasan(militer) karena pejuang Aceh mempunyai semangat Jihad yang digelorakan oleh para Tengku(tokoh agama Aceh).
Sedangkan perlawanan para pejuang Aceh dilakukan oleh para pendukung para Teuku(penguasa kerajaan Aceh).
Snouck Hurgronje menyarankan kepada pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa di Aceh untuk merangkul tokoh dan ulama Aceh dengan tujuan untuk memisahkannya dari para bangsawan Aceh yang masih mempertahankan wilayah kekuasaan dari pemerintah kolonial Belanda.
Saran tersebut dilaksanakan dan akhirnya Aceh berhasil dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1904.
Dalam catatan De Atjehers, Snouck pernah berkata: “Adalah kewajiban kita untuk membantu penduduk Negeri jajahan maksudnya warga muslim Indonesia agar terbebas dari phobia Islam”.
Sejak itu, sikap dan pandangan Snouck terhadap Islam tidak pernah berubah.
Untuk mendukung semua gagasannya menjadi kenyataan, Snouck pernah mengusulkan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk dibentuk Kantor Urusan Pribumi (Kantoor Voor Indlandsche Zaken) pada tahun 1899.
Dan ia sendiri yang menjadi pejabat pertama kantor lembaga tersebut.
Snouck Hurgronje sukses memimpin kantor tersebut, dan merekomendasikan berbagai formula kebijakan yang kemudian diadopsi menjadi kebijakan resmi pemerintah kolonial Belanda.
Kantoor lembaga ini yang melayani dan mengkoodinir penerapan dan pelaksanaan ibadah masyarakat muslim Hindia Belanda, seperti menetapkan undang undang perkawinan sesuai dengan Syariat Islam, mengkoodinir pelaksanaan ibadah haji, dll.
Dikemudian hari Kantor lembaga ini menjadi Departemen Agama setelah Indonesia merdeka.
Sumber narasi : dari berbagai sumber