Porosmedia.com, Jakarta – Rencana penempatan personel TNI untuk menjaga kantor kejaksaan di seluruh Indonesia memicu kekhawatiran publik dan kritik dari berbagai pihak. Kebijakan ini dinilai berpotensi menurunkan marwah institusi TNI dan memperkuat stigma militerisme dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Meskipun tujuannya mungkin untuk memperkuat sinergi antar-lembaga, dampak jangka panjangnya justru kontraproduktif. Ini bisa menurunkan wibawa TNI dan menciptakan kesan bahwa pemerintahan Pak Prabowo tengah menghidupkan kembali semangat militeristik ala Orde Baru,” ujar pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R. Haidar Alwi, Minggu (11/5/2025).
Selama ini, TNI menempati posisi teratas dalam survei persepsi publik terhadap institusi negara karena konsistensinya menjalankan peran pertahanan, tanpa terlibat dalam urusan sipil. Namun, revisi Undang-Undang TNI yang memperluas cakupan jabatan sipil bagi prajurit aktif memunculkan kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI yang dulu dikecam dalam era reformasi.
Haidar Alwi menekankan, langkah penempatan prajurit TNI di lembaga penegak hukum sipil seperti kejaksaan tidak hanya menyalahi semangat reformasi, tapi juga berpotensi memperburuk citra militer di mata masyarakat.
“Survei Litbang Kompas Maret 2025 menunjukkan hampir 70 persen masyarakat khawatir dengan ekspansi militer ke ranah sipil. Penempatan pasukan di kejaksaan justru memperkuat kekhawatiran tersebut. Ini bukan sekadar teknis penugasan, tapi soal arah politik dan demokrasi,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menyoroti bagaimana narasi neo-Orde Baru terus menghantui pemerintahan Presiden Prabowo. Meski berulang kali dibantah, berbagai kebijakan yang melibatkan militer dalam urusan sipil, seperti pelatihan kabinet bergaya militer hingga pengiriman pelajar ke barak, telah menimbulkan persepsi publik yang negatif.
“Presiden Prabowo harus sangat berhati-hati. Kepercayaan publik terhadap beliau saat ini sangat tinggi—hampir menyentuh 90 persen. Tapi langkah yang keliru, seperti pengerahan TNI ke kejaksaan, bisa menjadi blunder politik yang mencoreng pencapaian tersebut,” tegas Haidar.
Keberadaan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer tidak bisa dijadikan pembenaran untuk pengerahan prajurit TNI secara masif. Tugas keamanan dalam negeri sepenuhnya menjadi domain Polri. TNI, menurut konstitusi dan undang-undang, hanya bisa dikerahkan dalam situasi darurat dan melalui koordinasi dengan kepolisian.
“Tak ada urgensi yang memaksa saat ini. Jika keamanan kejaksaan menjadi alasan, itu adalah ranah Polri. Penggunaan TNI secara berlebihan justru berisiko menimbulkan konflik kewenangan, kegaduhan politik, hingga instabilitas nasional,” tutup Haidar Alwi.