Porosmedia.com – Pernyataan Cinta Laura yang menyerukan solidaritas internasional melalui tagar #PhilanthropyForSocialJustice menuai perhatian publik. Artis sekaligus aktivis sosial ini meminta dunia internasional ikut menyebarkan informasi sekaligus membuka dukungan donasi untuk pergerakan masyarakat sipil di Indonesia. Alasannya jelas: pemerintah dinilai belum menunjukkan tanda-tanda bisa diharapkan, bahkan cenderung represif serta melakukan intimidasi terhadap aktivis muda.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan kritis: mengapa sebagian aktivis Indonesia, alih-alih mengandalkan sumber dalam negeri, justru mencari donasi ke luar negeri untuk memperjuangkan demokrasi?
Sejak era Reformasi 1998, Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun dalam praktiknya, ruang gerak masyarakat sipil kerap mengalami penyempitan. Data dari CIVICUS Monitor 2024 menempatkan Indonesia dalam kategori “obstructed” atau “terhalang”, artinya kebebasan sipil masih sering dibatasi.
Aktivis lingkungan yang mengkritik proyek pertambangan kerap berhadapan dengan kriminalisasi pasal karet.
Demonstrasi mahasiswa seringkali dibubarkan dengan kekerasan aparat.
Pegiat HAM yang menyoroti isu Papua menghadapi stigma separatis hingga ancaman keamanan.
Situasi ini membuat aktivis kehilangan rasa aman untuk bekerja di dalam negeri. Cinta Laura, dengan platform global yang ia miliki, mencoba membuka jalan lain melalui dukungan internasional.
Dalam teori masyarakat sipil, pendanaan adalah jantung gerakan. Menurut laporan OECD (2023), banyak gerakan pro-demokrasi di Asia Tenggara bertahan hidup berkat kombinasi pendanaan lokal dan internasional. Namun, di Indonesia, pendanaan lokal untuk demokrasi masih lemah karena tiga faktor utama:
1. Kultur filantropi lebih religius dan karitatif – Masyarakat Indonesia gemar berdonasi, tetapi mayoritas disalurkan ke kegiatan keagamaan atau bantuan bencana, bukan untuk advokasi demokrasi.
2. Minimnya dukungan negara – Bantuan pemerintah untuk LSM sering dianggap tidak independen karena rawan dikendalikan kepentingan politik.
3. Stigma “asing” – Aktivis yang menerima dana luar negeri kerap dicurigai “agen asing”, meski secara hukum UU Yayasan (No. 16/2001 jo. UU No. 28/2004) membolehkan yayasan menerima dana hibah internasional selama dilaporkan dan diaudit.
Akibatnya, aktivis dihadapkan pada dilema: bila bergantung pada dana lokal, mereka kesulitan bertahan; bila menerima dana luar negeri, mereka dicap tidak nasionalis.
Perlu digarisbawahi, tidak ada aturan di Indonesia yang melarang mutlak aktivis menerima bantuan internasional. Yang diatur adalah transparansi dan akuntabilitas.
UU Ormas No. 17/2013 memang memberi batasan agar ormas tidak menjadi saluran kepentingan asing.
Namun selama dana digunakan untuk kegiatan sosial, pendidikan, HAM, dan dilaporkan sesuai aturan, praktik ini sah.
Artinya, tuduhan bahwa aktivis “jual diri ke asing” tidak sepenuhnya benar. Persoalannya lebih kepada ketidakpercayaan pemerintah terhadap independensi gerakan sipil.
Fenomena aktivis mencari donasi ke luar negeri memiliki konsekuensi ganda:
Positif:
Membuka akses jaringan internasional.
Memberikan perlindungan moral, karena aktivis mendapat sorotan dunia.
Memperkuat kapasitas advokasi dengan dukungan dana dan pelatihan.
Negatif:
Berpotensi memicu tuduhan intervensi asing.
Membuat pemerintah semakin defensif, lalu memperketat regulasi.
Menimbulkan jarak dengan masyarakat lokal yang tidak memahami sumber dana.
Cinta Laura sadar akan risiko ini, namun ia memilih keberanian dengan memanfaatkan jejaring global yang ia miliki.
Fenomena ini adalah cermin dari krisis kepercayaan. Ketika negara gagal memberi ruang aman bagi aktivis, maka mereka mencari dukungan dari luar. Masalahnya bukan sekadar soal dana, melainkan soal demokrasi yang semakin kehilangan ruang bernafas.
Pertanyaan mendasar yang harus diajukan adalah: Mengapa aktivis lebih percaya pada solidaritas global daripada pada negaranya sendiri?
Selama pemerintah masih menganggap kritik sebagai ancaman, bukan sebagai masukan, maka suara-suara muda akan terus mencari panggung di luar negeri. Bukan karena mereka anti-nasional, melainkan karena mereka ingin demokrasi tetap hidup di negeri sendiri.
Seruan Cinta Laura bukan sekadar ajakan donasi. Itu adalah alarm keras tentang rapuhnya demokrasi di Indonesia. Jika negara tidak segera memperbaiki hubungan dengan masyarakat sipil, maka legitimasi demokrasi kita akan dipertanyakan, bukan oleh asing, tetapi oleh rakyatnya sendiri.