Ragam  

Biodigester: Terobosan atau Solusi Setengah Jalan dalam Krisis Sampah Kota Bandung?

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Pemerintah Kota Bandung kembali memperkenalkan teknologi pengolahan sampah organik melalui penggunaan biodigester, sebuah alat yang diklaim mampu mengubah limbah menjadi energi dan pupuk cair. Langkah ini disebut sebagai bagian dari strategi memperkuat pengelolaan sampah berbasis sumber dan mendorong transisi menuju kota yang lebih bersih, hijau, dan berkelanjutan.

Namun, di tengah euforia inovasi, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah teknologi ini benar-benar siap menjawab krisis sampah akut yang membayangi Kota Bandung?

Dalam siaran kolaborasi Radio Sonata dan Radio PR FM, Selasa (8/7/2025), Ketua Tim Pengurangan Sampah DLH Kota Bandung, Syahriani, dan Anggota Komisi III DPRD Kota Bandung, H. Andri Rusmana, hadir untuk mengupas lebih dalam implementasi dan tantangan di lapangan.

Syahriani menjelaskan bahwa produksi sampah Kota Bandung saat ini mencapai 1.500 ton per hari, sementara kapasitas pembuangan ke TPA hanya 800 ton. Ketimpangan inilah yang membuat pengelolaan di tingkat sumber menjadi sangat penting.

“Biodigester kami pilih karena limbah organik mendominasi sampah harian. Kami mulai dari Pasar Gedebage karena volumenya besar. Biogas untuk memasak, pupuk cair untuk pertanian. Ini solusi yang bisa langsung dipakai,” jelasnya.

Baca juga:  Komitmen TNI Netral Pada Pemilu 2024, Netralitas TNI Harga Mati

Namun, pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa sekadar membagikan alat bukanlah jaminan sukses.

“Sudah ada alat dibagikan ke warga, tapi tak semua dimanfaatkan optimal. Maka sekarang kami fokus ke lokasi strategis dengan pendampingan,” tambahnya, mengakui masih lemahnya perubahan perilaku masyarakat sebagai kendala utama.

Pemerintah Kota juga dikabarkan telah membangun rumah maggot di 149 kelurahan dan fasilitas pengolah residu di Cicukang dan Gedebage. Namun, realisasi dari fasilitas ini di lapangan masih memerlukan evaluasi menyeluruh, mengingat banyak program serupa sebelumnya terbengkalai karena minim perawatan dan edukasi.

Sementara itu, dari sisi legislatif, H. Andri Rusmana mengingatkan bahwa krisis sampah bukan semata masalah teknis, melainkan soal komitmen politik dan keberanian anggaran.

“Ini bukan cuma alat. Ini soal lingkungan, kesehatan, dan efisiensi anggaran. Sampah, banjir, dan macet itu tiga masalah utama Bandung. Jangan hanya jadi pelengkap APBD,” tegasnya.

Andri juga mendorong revisi regulasi dan pemberian insentif untuk RW atau komunitas yang bersedia mengadopsi teknologi hijau. Namun, ia menekankan pentingnya refleksi dari kegagalan masa lalu.

Baca juga:  Josephine Simanjuntak Hadiri Rapat Dibukanya Masa Reses Ketiga Tahun 2024-2025

“Kita punya trauma soal sampah. Jangan sampai terulang. Jangan sekadar pencitraan program. Pemerintah, DPRD, dan warga harus solid. Kalau terpecah, krisis tak bisa dicegah,” ujarnya.

Di balik optimisme ini, masih terbuka ruang evaluasi kritis: Sejauh mana biodigester mampu diterapkan masif di kota dengan kepadatan tinggi dan kesenjangan literasi lingkungan? Apakah teknologi yang digunakan tahan lama dan didukung infrastruktur distribusi yang memadai? Dan apakah pembiayaan program ini benar-benar berpihak pada kebutuhan warga, bukan sekadar proyek berbasis anggaran?

Dengan semua itu, biodigester bisa menjadi solusi, tapi bukan satu-satunya jalan keluar. Diperlukan kepemimpinan yang konsisten, partisipasi publik yang teredukasi, dan keberanian anggaran untuk menjadikan pengelolaan sampah sebagai prioritas utama, bukan sekadar proyek musiman.