Porosmedia.com, Kajian Ilmu Islam – Tulisan kajian ilmu islam ini merupakan isi catatan pribadi kontributor dari mengikuti kajian islami pembahasan Kitab Tadziratus Saami wal Mutakallim fii Adabil’alim wal Muta’alim yang dipaparkan oleh Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri pada Kajian Online YouTube. Sehingga pasti memiliki kekurangan dan ketidaksesuaian dengan isi kitab aslinya. Bagi pembaca yang ingin melihat kajian aslinya bisa mengambil link berikut : https://youtu.be/rMno2d6G2dA
Kitab Tadzkiratus Saami wal Mutakallim fii Adabil’ alim wal Muta’alim adalah sebuah kitab adab yang populer buah karya Al Imam Ibnu Jamaah. Beliau adalah seorang qadhi (hakim) yang terkenal di Al Aqsha dan Mesir pada zamannya. Edisi pertama kali ini tidak akan membahas isi kitab, namun merupakan catatan isi kajian mengenai muqaddimah kitab.
Pada saat ini, banyak orang yang memperoleh hidayah, banyak pula orang yang berhijrah, begitu pun banyak orang yang melangkahkan kakinya ke rumah-rumah Allah Subhanahu Wa Taala. Namun tidak sedikit dari mereka yang tidak mengetahui bagaimana sebenarnya cara para ulama belajar. Padahal, salah satu kunci sukses manusia dalam dunia ilmu adalah mengikuti metode belajar para ulama. Yakni metode belajar para wali-wali Allah Subhanahu wa Taala.
Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, “Jika ulama yang berupaya mengamalkan ilmunya bukan wali Allah, maka saya tidak tahu lagi siapakah wali Allah itu.”
Ciri Utama Penuntut Ilmu
Rasulullah shalallahu’alayhi wasallam mengatakan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas, “Ada dua orang yang begitu rakus dan tidak pernah merasa kenyang : 1. Penuntut ilmu dan 2. Penuntut dunia.” (HR. Al-Hakim dalam Al Mustadrok 1: 92. Dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi.)
Hadits ini adalah wahyu yang selanjutnya para ulama pun telah membenarkannya. Bahwa, pertama, jika ingin menjadi penuntut ilmu sejati, maka bukan hanya menjadi sekadar penggembira atau peramai kajian saja. Namun harus selalu memiliki sifat “tidak pernah kenyang,” senantiasa haus akan ilmu.
Kedua, Nabi menyamakan kebiasaan seorang penuntut ilmu dengan penuntut dunia. Keduanya sama-sama tidak pernah puas. Para ulama mempelajari firman-firman Allah dan hadits-hadits Nabi shalallahu alayhi wasallam dengan hasrat, passion dan semangat yang sama dengan para ahli dunia yang mengejar hobi dan kecintaan mereka akan dunia.
Rufa’i bin Mihran yang mendapat julukan Abul Aliyah, pernah mengatakan sebagaimana dinukilkan oleh Imam Al Khatib Al Baghdadi dalam kitabnya Al Kifayah,
“Kami dahulu mendengar riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para sahabat-sahabat Nabi shalallahu alayhi wassalam, dan saat mendengar itu kami ada di Bashrah, di Iraq. Kami telah mendengar hadits dari Umar bin Khattab, dari Abu Hurairah, dari Abdullah bin Mas’ud, dari Ubay bin Kaab, dari Abu Ayyub al Anshari, dari Abdullah bin Abbas, dari Aisyah, dari Abdullah bin Umar, dari Abu Bakar, akan tetapi kami tidak pernah puas. Hingga kami mengatur perjalanan untuk pergi ke Madinah agar kami dapat mendengar langsung dari lisan-lisan mereka.”
Serupa dengan Penuntut Dunia
Inilah cerminan seorang penuntut ilmu sejati. Contoh pada zaman ini, adalah bahwa seorang penuntut ilmu tak akan puas hanya belajar dari streaming atau media sosial. Penuntut ilmu sejati akan bersemangat menggebu-gebu untuk datang langsung ke acara kajian yang menyampaikan ilmu tersebut. Sebagaimana orang yang memiliki hobi duniawi, misalnya penggemar sepak bola, atau Moto GP, atau fans boyband Korea atau Jepang. Mereka tidak akan puas jika hanya menonton siaran langsung dari televisi saja.
Penggemar sepak bola dari Makassar akan bersemangat datang untuk sekadar menonton final pertandingan tim sepak bola kesayangannya di Gelora Bung Karno. Begitu pula yang dari Irian, Surabaya, atau NTB. Mereka merasa bahwa atmosfer atau suasana di stadion sepak bola dan menyaksikan pertandingannya secara langsung jauh lebih membekas di hati daripada hanya menonton di televisi. Meskipun jika nonton di televisi mungkin bisa sambil minum kopi dan makan pisang goreng.
Penggemar Moto GP pun sama, mereka bela-belain sampai pergi ke Singapura demi menonton Moto GP. Atau K-popers yang rela menghabiskan uang begitu besar demi menonton konser sang idola kesayangan secara langsung. Mereka merasa sensasi menonton secara langsung itu berbeda dan lebih istimewa.
Ulama pun demikian. Perkataan Rasulullah shalallahu alayhi wassalam telah menjamin hal tersebut. Hasrat seorang penuntut ilmu sama persis dengan seorang penuntut dunia. Tidak akan puas dengan kajian islam live streaming atau ceramah di televisi saja. Berjuang semaksimal mungkin untuk datang, mengorbankan harta, waktu dan tenaga demi mengejar ilmu secara langsung.
Menurut mereka, suasana kajian secara langsung amat berbeda dengan streaming online. Sebab acara kajian langsung tersebut pun pasti dinaungi malaikat. Pasti akan bertemu pula dengan orang-orang yang berusaha menjadi shalih, berusaha ikhlas kepada Allah Taala, orang-orang yang ingin berubah, orang-orang yang ingin hijrah, dan mereka pun akan memperoleh berkah yang berbeda.
Usaha (Effort) Amat Penting dalam Menuntut Ilmu
Lalu ketika mereka berjuang, mengeluarkan usaha (effort) semaksimal mungkin untuk menuntut ilmu tersebut, maka pasti ada pahala yang diraih. Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung usaha, tergantung beratnya ujian, dan tergantung sulitnya musibah. Semakin besar memberikan usaha, maka pahalanya pun akan semakin besar.
Saat ini kita berada di sebuah masa di mana Allah Azza wa Jalla telah membuka pintu ilmu secara luas. Berbeda dengan di masa lalu di mana untuk meraih ilmu membutuhkan perjuangan yang tak sedikit.
Jabir ibn Abdullah Al Anshari harus berjalan kaki selama 1 bulan ketika beliau ingin mendapatkan hadits Rasulullah Shalallahu alayhi wasallam, “Allah akan membangkitkan manusia pada hari kiamat dalam kondisi telanjang bulat, tidak membawa bekal dan tanpa dikhitan, juga tidak memakai alas kaki.”
Contoh lainnya, Imam Masruq bin Al-Ajda, murid dari Aisyah radhiyallahu taala anha, untuk mendapatkan tafsir satu kata di dalam Al-Qur’an saja, beliau berjalan hingga ke Iraq. Sayangnya, begitu sampai di Iraq, syaikh yang beliau cari telah pergi ke Syam (sekarang terpecah menjadi empat wilayah yakni Palestina, Lebanon, Suriah dan Yordania). Imam Masruq langsung berangkat ke Syam saat itu juga, dan akhirnya bertemu dengan syaikh yang beliau cari tersebut di Syam.
Sangat berbeda dengan situasi zaman sekarang yang untuk mendapatkan satu buku hadits saja kita tidak perlu berjalan jauh, cukup membuka ponsel dan membeli secara online saja.
Al Imam Abu Bustham Syu’bah bin Al-Hajjaj mengatakan, “Barang siapa yang sungguh-sungguh atau totalitas mencari ilmu hadits maka pasti akan bangkrut.” Sebab, membutuhkan modal yang amat besar. Seperti transportasi untuk bepergian ke berbagai tempat, modal untuk membeli buku, dan lain sebagainya.
Syu’bah bin Hajjaj mengatakan, “Aku pernah menjual baskom atau ember-ember milik ibuku seharga 7 dinar untuk aku gunakan menuntut ilmu agama.”
Itulah sikap seorang ulama ketika mereka kekurangan modal biaya untuk menuntut ilmu. Tidak seperti di zaman sekarang yang ketika terhalang biaya, maka langsung menjadikannya sebagai alasan uzur syar’i dalam mencari ilmu.
Rabi’ah bin Abu Abdurrahman, guru dari Imam Malik rahimahullah yang juga dikenal dengan Rabi’ah Ar-Rayi, ketika beliau ingin mengikuti kajian (menimba ilmu) namun tidak memiliki modal atau biaya, maka beliau naik ke atas rumahnya. Apa yang beliau lakukan? Beliau mengambil genting rumahnya lalu menjualnya. Subhanallah. Rabi’ah Ar-Rayi melakukan ini demi mendapatkan modal untuk mencari ilmu. Namun tentu saja, genting rumah tersebut adalah milik beliau sendiri, bukan genting rumah orang lain, apalagi rumah kontrakan.
Masih banyak ulama yang melakukan perjuangan luar biasa mencari modal untuk menimba ilmu. Bahkan ada ulama yang menjual rumahnya hanya demi bisa duduk di majelis ilmu Imam Malik. Luar biasa, bukan?
Keberkahan Akan Memuliakan Penuntut Ilmu
Mengapa kualitas para ulama dan ahli ilmu di masa lalu senantiasa berada di atas kita? Kualitas iman dan takwa mereka luar biasa, sementara kita tidak bisa mengejar mereka. Padahal jika kita memakai logika hari ini, orang yang hanya bermodal ponsel saja berhasil mendapatkan ribuan hadits, tentu kualitasnya akan lebih bagus daripada orang yang harus berjalan dulu selama satu bulan untuk menemukan 1 hadits. Bukankah kita seharusnya lebih cepat dan lebih efisien? Tetapi mengapa kualitas ulama lebih baik?
Pengisi Masjid Nabawi, Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-Mukhtar asy Syinqithi mengatakan bahwa penyebabnya adalah keberkahan ilmu. 1 hadits yang diperoleh dengan keberkahan akan lebih utama daripada ribuan hadits yang kurang berkah. Menurut Syaikh Asy Syinqithi, para pencari ilmu atau orang-orang yang sering mendatangi majelis kajian ilmu wajib mengincar keberkahan ilmu ini. Yakni ilmu yang bermanfaat, bukan sekadar ilmunya saja.
Karena itulah Rasulullah Shalallahu alayhi wassallam senantiasa berdoa untuk memohon ilmu yang bermanfaat dan berkah, bukan banyak. Nabi selalu meminta perlindungan kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.
Cara Meraih Keberkahan Ilmu
Salah satu cara mendapatkan keberkahan ilmu adalah usaha yang sungguh-sungguh. Semakin sulit kita mendapatkan sesuatu, maka sesuatu tersebut akan semakin bernilai di dalam sanubari kita. Misalnya memperoleh uang gaji dengan bekerja membanting tulang akan beda rasanya dengan mendapatkan uang pemberian orang tua.
Seorang ulama, Ja’far bin Durustuwaih rahimahullah menceritakan bagaimana beliau dan teman-temannya mendatangi majelis kajian Ali bin Al-Madini rahimahullah. Ja’far dan rombongannya telah sampai di lokasi kajian sejak waktu Ashar. Sementara kajian tersebut dimulai besok pagi. Semuanya duduk tak bergerak menempati tempat mereka sepanjang malam, sebab khawatir esoknya tidak mendapatkan tempat untuk mendengar ucapan Syaikh Ali bin Madini karena penuh sesaknya manusia. Para ulama takut untuk kehilangan ilmu tersebut meskipun hanya sedikit.
Demikianlah gambaran perjuangan para penuntut ilmu. Begitu mirip dengan perjuangan para penuntut dunia. Misalnya saja ketika novel terbaru Harry Potter rilis, maka orang-orang berduyun-duyun mengantre di depan toko buku. Bahkan sampai menginap karena takut kehabisan buku novel tersebut. Para penuntut ilmu pun berjuang sedemikian rupa untuk memperoleh ilmu walau hanya satu kalimat. Sungguh-sungguh mengejar ilmu, tidak kalah dengan penuntut dunia.
Renungan: Syurga Butuh Perjuangan
Ketika para pengejar dunia berjuang untuk mendapatkan dunia dengan kerja keras, semaksimal mungkin demi memperoleh dunia, lantas bagaimana dengan akhirat? Akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Jika untuk mendapatkan yang fana saja kita bisa berjuang semaksimal mungkin, lantas bagaimana dengan yang kekal? Mungkinkah hanya mengandalkan khutbah Jum’at? Tentu tidak mungkin.
Untuk mendapatkan predikat cumlaude di ITB saja tentu harus belajar mati-matian. Mana mungkin untuk cumlaude di Harvard University bisa tercapai dengan hanya tidur-tiduran? Pastinya tak mungkin. Ketika untuk urusan dunia saja kita mampu berjuang semaksimal mungkin, mungkinkah untuk mendapatkan akhirat semudah itu?
Rasulullah Shalallahu alayhi wasallam bersabda, “Ketahuilah, yang Allah tawarkan itu mahal.”
Syurga itu mahal, bukan murah apalagi gratisan. Kalau saja semudah itu memperoleh syurga, kalau syurga semurah itu, maka tidak mungkin Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah. Jika syurga itu murah, tidak akan ada penyiksaan kepada Bilal bin Rabah. Kalau syurga itu murah, maka takkan ada air mata di keluarga Yasir, Ammar, dan Sumayyah. Pintu gerbang syurga itu belajar, belajar dan belajar. Sebab Al Imam Al Bukhari mengatakan, “Ilmu dahulu sebelum berbicara dan beramal.” Wallahu’alam bisshawwab.