“Tak hanya menggetarkan lautan, ia juga mengguncang singgasana-singsana kekuasaan.”
Porosmedia.com – I. Pertemuan dengan Takdir: Cornelis de Houtman Tumbang di Tangan Sang Laksamana
Tahun 1596, empat kapal Belanda di bawah komando Kapitein Cornelis de Houtman berlabuh di pelabuhan Banten, membawa ambisi dagang dan aroma kolonialisme. Bukannya bersahabat, awak-awak kapal itu justru memicu konflik. Dengan arogan, mereka memaksakan harga dan menyinggung martabat penduduk lokal. Bentrok pun tak terelakkan, banyak di antara mereka yang tewas, dan de Houtman pun kembali ke negerinya dengan tangan hampa.
Namun dua tahun kemudian, tahun 1598, de Houtman kembali. Kali ini ia mengarahkan armadanya ke utara — ke Kesultanan Aceh Darussalam, negeri kuat di ujung Sumatra yang sejak lama menjalin diplomasi dengan berbagai bangsa Eropa dan Asia. Ia datang dengan maksud membeli lada, namun membawa arogansi yang sama.
Aceh menyambut dengan baik. Sultan Aceh bahkan mengundangnya ke istana untuk sebuah jamuan kehormatan. Tapi perdamaian itu rapuh. Tak lama setelah kunjungan istana, bentrokan kembali terjadi di pelabuhan. Ketika Cornelis de Houtman menghunus pedang ke arah Syahbandar Aceh, Laksamana Malahayati — perempuan pertama di dunia yang menyandang gelar laksamana — melompat ke medan, mencabut rencong, dan menusuk dada sang kapten Belanda. Tumbanglah de Houtman, veteran perang yang pernah mengguncang Banten.
Bentrokan terbuka pecah. Kapal-kapal Belanda yang hendak kabur dihujani meriam. De Leewin tenggelam dalam kobaran api, sementara De Leeuwen berhasil ditangkap. Sebanyak 30 awak kapal ditawan, termasuk Frederick de Houtman, adik Cornelis.
II. Dari Pejuang Menjadi Pembela: Kearifan Sang Negarawan
Kisah ini tak hanya tentang keberanian. Di hadapan pengadilan, Malahayati menunjukkan wajah lain: seorang negarawan dan penjaga martabat hukum. Ia memohon pada Sultan untuk menjadi pembela bagi para tahanan Belanda. Dalam sidang, ia membela para tawanan dari hukuman mati.
“Jika kita hukum mati mereka,” katanya, “maka kita bukan hanya membalas dendam, melainkan juga menghancurkan jalinan diplomatik dengan bangsa-bangsa Eropa yang tengah kita bangun.”
Akhirnya, hukuman mati diubah menjadi penjara seumur hidup. Ini bukan hanya kemenangan diplomasi, tetapi juga pernyataan bahwa Aceh bukan bangsa barbar, tetapi bangsa besar dengan adab dan kehormatan.
III. Duta Diplomasi dan Wali Pemerintahan
Laksamana Malahayati bukan sekadar panglima. Ia menguasai bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan Spanyol, dan kerap menjadi pintu pertama diplomasi Aceh. Setiap utusan asing harus lebih dulu bertemu dengannya sebelum menjumpai Sultan. Ia bukan hanya pengawal istana, melainkan pelindung kedaulatan.
Ketika Prins Maurits dari Belanda mendengar kabar kematian de Houtman, ia mengutus Laksamana Laurens Bicker membawa surat permohonan maaf, hadiah, dan pernyataan damai. Armada itu pun tiba di perairan Aceh, tapi dicegat oleh pasukan laut. Laksamana Malahayati kembali memimpin diplomasi — kali ini dengan kebijaksanaan dan keanggunan sebagai penjaga martabat negeri.
IV. Ujian Kesetiaan: Kudeta dari Dalam Istana
Di penghujung usia Sultan Saidil Mukamil, muncul hasrat kekuasaan dari Sultan Mahmud Syah, putra raja yang ingin naik tahta melewati garis hukum kerajaan. Ia mendekati Malahayati agar mendukung ambisinya. Tapi sang laksamana memilih tegak pada hukum — pada Undang-Undang Meukuta Alam Al-Asyi, yang telah menunjuk Iskandar Muda sebagai penerus tahta.
Sultan Mahmud Syah pun melakukan kudeta. Ia menangkap Malahayati dan Iskandar Muda, memenjarakan mereka di Merduwati. Tapi kekuasaan yang diraih dengan cara busuk, tak pernah abadi.
Malahayati melarikan diri ke Pidie bersama Iskandar Muda, dibantu oleh rakyat dan bangsawan setia. Meski ia bisa saja menyerang balik, ia menolak pecahnya perang saudara. Ia memilih diam. Menunggu. Menyusun kekuatan dalam sabar yang mendalam.
V. Ketika Portugis Datang Menyerang
Kesempatan pun datang di tengah krisis. Tahun 1607, armada Portugis menyerang Aceh, mengira Malahayati akan tetap diam. Tapi sang laksamana bangkit dari sakitnya. Dengan rencong di dada dan semangat yang tak pernah mati, ia memimpin perang dari atas tandu, menyatukan kembali rakyat Aceh melawan musuh asing.
17 kapal Portugis berhasil dipukul mundur. Aceh menang.
Tak lama kemudian, Sultan Mahmud Syah wafat — diduga akibat tekanan mental menghadapi kekuatan yang bangkit kembali.
VI. Akhir Perjalanan Sang Laksamana
Majelis Kerajaan kembali bersidang. Iskandar Muda dinobatkan sebagai Sultan Aceh ke-20. Di hari pelantikan, Malahayati hadir — dengan tubuh yang dipapah, tetapi semangatnya tetap menyala. Ia menyaksikan hasil dari keteguhannya, lahirnya pemimpin besar yang kelak membawa Aceh ke puncak kejayaan.
Beberapa bulan kemudian, Malahayati meminta kembali ke kapal komandonya, Kuta Alam, yang berlabuh di pelabuhan Ulee Lheu. Di sanalah, di atas geladak kapal yang mencium garam lautan, sang bunga Aceh mengembuskan napas terakhirnya.
Epilog: Warisan Abadi
Laksamana Malahayati bukan sekadar pahlawan laut. Ia adalah penjaga undang-undang, penengah sengketa, diplomat ulung, dan pelindung martabat negeri. Dari laut Aceh hingga istana Eropa, namanya bergema sebagai simbol bahwa perempuan pun bisa memimpin, bertarung, dan menjaga tanah airnya.
Berbanggalah wahai rakyat Aceh! Perempuan perkasa ini lahir di tanah kalian — menjadi cahaya dalam sejarah bangsa yang tak pernah tunduk.
#LaksamanaMalahayati #AcehPerkasa #PahlawanPerempuan #SejarahNusantara #GarudaDariBarat #PerempuanPejuang #RencongAceh #SrikandiLaut