Porosmedia.com, Bandung — Tumpukan sampah kian menyergap ruang-ruang publik Kota Bandung. Dari Gedebage, Caringin, Ciwastra, hingga Gunung Batu, aroma krisis pengelolaan limbah semakin menyengat. Pemerintah Kota Bandung akhirnya mengambil langkah realistik: menghentikan sementara edukasi publik dan memusatkan fokus pada penanganan timbulan sampah baru yang kian menggunung.
Dalam talkshow “Siaran Bareng Pak Wali”, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menyampaikan bahwa hingga Juni 2025, Pemkot memprioritaskan pengangkutan dan penanganan langsung sampah di lapangan. Langkah ini bisa dimaklumi — karena saat darurat, teori tak lagi cukup. Bandung harus turun langsung ke medan sampah.
Data menunjukkan, dari 1.597 RW yang ada di Bandung, baru 412 RW yang berhasil mencapai status Kawasan Bebas Sampah (KBS). Artinya, mayoritas wilayah kota ini belum mampu mengelola 30 persen sampahnya sendiri, dan ini menjadi bukti betapa beratnya tantangan pengelolaan lingkungan di kota metropolitan.
Lebih memprihatinkan, Kota Bandung memproduksi rata-rata 172 truk sampah per hari, namun hanya 140 truk yang dapat dibuang ke TPA Sarimukti. Artinya, sekitar 32 truk sampah per hari tidak memiliki tempat penampungan akhir yang layak. Angka ini bukan statistik biasa — ini adalah fakta yang menjelaskan mengapa tumpukan di sejumlah kawasan sudah tak terhindarkan.
Namun, menghentikan sementara edukasi masyarakat juga mengandung risiko. Kebiasaan mengelola sampah dari rumah tangga adalah akar dari budaya bersih kota. Jika intervensi penyadaran publik dihentikan terlalu lama, justru dapat memperburuk siklus penumpukan sampah ke depan.
Maka strategi Pemkot haruslah dinamis dan terukur: sementara tenaga dikerahkan untuk menangani timbulan yang ada, rencana jangka menengah untuk mengembangkan ekosistem KBS dan mengintensifkan edukasi warga tidak boleh kehilangan arah.
Lebih jauh, ini juga menjadi sinyal kuat bahwa Kota Bandung membutuhkan solusi struktural: penambahan fasilitas TPA, diversifikasi pengelolaan limbah, hingga kolaborasi swasta dan komunitas untuk membentuk rantai ekonomi sirkular berbasis sampah.
Juni menjadi batas waktu krusial — titik balik, seperti yang disebutkan Wali Kota. Jika setelah itu Bandung tetap bergelut dengan gunungan sampah, maka yang perlu dirombak bukan sekadar manajemen teknis, tetapi sistem pengelolaan kota secara menyeluruh.
Bandung adalah kota cerdas dan kreatif. Sudah saatnya menangani sampah bukan dengan kepanikan berkala, tapi dengan sistematisasi dan keberanian politik yang progresif.