Porosmedia.com — Ketika krisis pengelolaan sampah di perkotaan memuncak, jalan pintas seolah menjadi solusi instan: membakar. Kini, setelah lampu hijau diberikan untuk pembakaran sampah, mulai dari level rumah tangga hingga kecamatan, masyarakat berlomba-lomba membangun tungku sederhana. Bahkan, pemerintah daerah pun menggulirkan wacana pemasangan insenerator skala besar bernilai miliaran rupiah di wilayah berpenduduk minim.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Kenyataan di lapangan menunjukkan paradoks yang mencolok. Di satu sisi, pemerintah berupaya menanggulangi darurat sampah melalui pengadaan alat pemusnah berbasis pembakaran. Di sisi lain, pendekatan ini mengabaikan aspek krusial: kesehatan masyarakat dan keselamatan lingkungan.
Sebut saja sebuah kecamatan dengan jumlah penduduk “20 orang” yang justru dianggarkan insenerator bernilai miliaran. Sementara di wilayah padat berpenduduk, warga terpaksa urunan membuat tungku RT seharga lima jutaan demi bisa “ikut membakar”. Ketimpangan ini membuka ruang bagi publik mempertanyakan prioritas dan logika kebijakan pengelolaan sampah hari ini.
Insenerator: Solusi Instan yang Mencemari
Tak bisa dimungkiri, alat pembakar sampah memang menjanjikan pemusnahan cepat. Namun, teknologi tanpa pendekatan lingkungan yang memadai ibarat memadamkan api dengan bensin. Asap pembakaran, jika tidak ditangani dengan standar emisi yang ketat, hanya akan memperparah polusi udara, mengganggu saluran pernapasan, hingga meningkatkan risiko penyakit kulit dan kardiovaskular.
Ironisnya, kekhawatiran ini tidak banyak mendapat ruang dalam diskusi publik. Narasi dominan justru digerakkan oleh kelompok yang “menguasai redaksi dan lisan”, menjual teori darurat, kiamat sampah, dan zona overload sebagai dalih percepatan pengadaan mesin pembakar. Seolah masyarakat diminta percaya bahwa semua alat pembakaran — dari yang bermerek hingga rakitan alumni perguruan tinggi pengangguran — telah teruji secara lingkungan.
Kemunduran Konsep Hulu-Hilir
Padahal, solusi nyata dan berkelanjutan ada pada pengolahan sampah dari hulu: dapur rumah tangga. Edukasi memilah sampah, komposting organik, hingga daur ulang merupakan pilar utama yang justru ditinggalkan. Pengomposan, misalnya, bukan hanya ramah lingkungan tetapi bernilai ekonomi tinggi. Hasilnya bisa jadi media tanam, pupuk untuk kebun dan sawah, bahkan pakan ternak. Namun sayangnya, upaya ini terkubur oleh semangat instanisme: asal musnah, selesai urusan.
Menguji Akal Sehat Anggaran
Pertanyaan besar yang perlu dilontarkan: mengapa proyek mahal seperti insenerator miliaran bisa lolos dengan mudah, sementara inisiatif akar rumput berbasis edukasi minim dukungan? Apakah ini bagian dari proyek mercusuar atau praktik pemborosan anggaran? Atau ada motif lain yang lebih pragmatis daripada sekadar ingin “membersihkan kota”?
Langkah-langkah ini harus dikritisi secara objektif. Jangan sampai publik dibungkam oleh istilah-istilah teknokratis yang memoles kepentingan tertentu menjadi seolah-olah ilmiah dan darurat. Bila tidak, kita hanya akan menjadi saksi dari sebuah kebijakan lingkungan yang merusak atas nama penanggulangan.
Saatnya Mengembalikan Akal Sehat
Krisis sampah bukan sekadar soal tumpukan fisik, melainkan krisis kesadaran dan tata kelola. Membakar sampah bukan solusi utama, apalagi bila mengorbankan kesehatan warga dan kualitas udara. Solusi sejati ada pada partisipasi masyarakat, edukasi berkelanjutan, dan keberpihakan pada metode ramah lingkungan.
Jika hari ini kita membiarkan kota dibungkus asap demi mengejar “efisiensi pembakaran”, maka esok hari kita akan membayar mahal lewat angka penyakit dan kerusakan ekologis. Kita tidak butuh lebih banyak insenerator, kita butuh lebih banyak akal sehat.