Workshop Kuliner dari Aspirasi Reses: Apakah Sekadar Formalitas atau Upaya Nyata Pengentasan Pengangguran?

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Kegiatan reses anggota dewan sejatinya menjadi wadah untuk menyerap aspirasi rakyat. Namun, realisasinya sering kali perlu diuji lebih jauh: apakah benar menyentuh akar persoalan, atau sekadar seremonial untuk pencitraan? Salah satu yang menarik untuk dikritisi adalah pelaksanaan Workshop Kewirausahaan Bidang Kuliner yang dibuka oleh Wakil Ketua III DPRD Kota Bandung, Rieke Suryaningsih, Selasa (20/5), di SMA BPI Bandung.

Workshop ini, menurut klaim Rieke, merupakan hasil konkret dari aspirasi warga saat reses 2024 lalu. Para peserta disebut mendapat pelatihan mengenai strategi pemasaran, transformasi digital, hingga adaptasi selera pasar—termasuk tren viral seperti brownies pistachio Dubai dan roti sourdough.

Namun pertanyaannya, seberapa dalam dampak pelatihan semacam ini bagi pengentasan kemiskinan dan pengangguran yang kian akut di Kota Bandung? Apakah cukup hanya dengan workshop satu hari dan materi motivasional untuk menjawab tantangan struktural UMKM seperti permodalan, akses pasar, dan regulasi berat sebelah?

Rieke menekankan pentingnya penguatan branding, pengemasan produk, pemanfaatan media digital, dan keseimbangan kualitas-harga. “Pelaku usaha harus bisa memanfaatkan marketplace, layanan pesan-antar, dan promosi yang taktis,” katanya. Di atas kertas, ini terdengar bagus. Tapi implementasinya menuntut lebih dari sekadar wacana: koneksi internet stabil, perangkat memadai, dan bimbingan berkelanjutan yang masih menjadi kendala mayoritas pelaku usaha mikro.

Baca juga:  Tidak Terbukanya Eksploitasi Lingkungan Ancam Kawasan Tatar Sunda

Yang tidak boleh diabaikan, pelaku UMKM kerap terbentur kendala perizinan, sulitnya mendapatkan pendampingan yang konsisten, hingga lemahnya ekosistem usaha lokal. Pelatihan satu arah, tanpa evaluasi berkelanjutan dan tindak lanjut program pendukung, akan berakhir menjadi dokumentasi foto semata bagi portofolio politik.

DPRD semestinya tidak berhenti pada workshop. Harus ada pengawasan serius: apakah peserta benar-benar naik kelas? Apakah program ini dikawal sampai mereka punya omzet nyata dan bisa membuka lapangan kerja?

Kami menghargai langkah Rieke Suryaningsih yang membuka ruang pelatihan. Namun publik berhak menuntut akuntabilitas dan transparansi program. Jangan sampai kegiatan atas nama aspirasi rakyat justru menyimpan ironi: mengatasnamakan rakyat, tapi tidak menjangkau problem riil rakyat.