Unpad Resmikan Pusat Budaya Sunda dan Hidupkan kembali Majalah Mangke: Antara Amanat Kebudayaan dan Tanggung Jawab Sejarah 

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung — Universitas Padjadjaran (Unpad) mengambil langkah strategis dan simbolik dalam penguatan identitas budaya lokal dengan meresmikan Pusat Budaya Sunda Unpad serta menerbitkan kembali Majalah Mangle dalam versi baru. Acara peresmian yang berlangsung pada Selasa, 20 Mei 2025 di Graha Sanusi Hardjadinata, Jl. Dipati Ukur No. 35 Bandung ini dihadiri oleh Rektor Unpad, Prof. Arief S. Kartasasmita, Kepala Pusat Budaya Sunda Unpad, Prof. Ganjar Kurnia, serta sejumlah seniman dan budayawan Sunda.

Rektor Unpad menyatakan, pendirian pusat budaya ini merupakan bentuk konkret dari amanat sejarah dan akademik yang diemban institusinya. “Unpad memiliki tanggung jawab kultural untuk menjaga, mengembangkan, dan menjadikan budaya Sunda bukan hanya bahan ajar, melainkan juga bagian dari praktik hidup sehari-hari masyarakat,” ujar Prof. Arief.

Dengan peresmian ini, Unpad secara resmi mengambil alih pengelolaan Majalah Mangle, sebuah majalah bulanan berbahasa Sunda yang sudah eksis sejak tahun 1957—tahun yang sama dengan kelahiran Unpad. Ini bukan sekadar pengelolaan media cetak, melainkan upaya pelestarian identitas budaya yang terancam tergilas modernitas dan kapitalisme media.

Baca juga:  Netralitas ASN Sangat Penting Jelang Pemilu 2024

Langkah ini juga menjadi titik transformasi dari Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda (PDP-BS) yang telah aktif sejak 2019. PDP-BS telah mendigitalisasi ratusan karya tulis, arsip gambar, dan rekaman audio berbahasa Sunda, dengan tujuan melindungi warisan budaya dari ancaman kepunahan sekaligus menyebarluaskannya kembali ke ruang publik.

Salah satu produk digital yang sudah diluncurkan, SundaDigi, merupakan platform yang memuat kamus Sunda, bantuan tugas sekolah, berita, hingga pustaka daring. Program-program lain seperti Kursus Budaya Sunda dan Pasanggiri Tarucing Cakra telah rutin digelar sebagai upaya regenerasi budaya melalui pendekatan edukatif dan partisipatif.p

Keputusan Unpad menghidupkan kembali Mangle adalah bentuk perlawanan terhadap arus globalisasi yang menyingkirkan bahasa daerah ke pinggiran. “Majalah Mangle adalah manifestasi dari kekayaan kultural Sunda. Kini, dengan dikelola langsung oleh Unpad, ini adalah bentuk serius dari implementasi Statuta Unpad yang menyebutkan perlunya pusat kebudayaan dengan ciri khas lokal untuk bersaing di tingkat internasional,” kata Prof. Ganjar Kurnia.

Budayawan Sunda senior, Dr. Hawe Setiawan, turut menyambut baik langkah Unpad ini. “Mangle bukan hanya media, tapi artefak budaya. Ia telah menjadi jendela bagi orang Sunda untuk memandang dirinya sendiri. Yang penting sekarang adalah memastikan bahwa isi dan semangatnya tetap relevan dan menyuarakan aspirasi kebudayaan, bukan sekadar menjadi etalase nostalgia,” ungkapnya.

Baca juga:  Kualitas Udara Kota Bandung pun Tak Luput Dari Perhatian

Senada dengan itu, budayawan muda dan peneliti aksara Sunda, Rendi Ridwan Nugraha, menyatakan, “Ini kesempatan langka. Bila Pusat Budaya Sunda Unpad bisa bersinergi dengan komunitas akar rumput, kita bisa melahirkan gerakan budaya yang kuat—tidak hanya simbolik di kampus, tetapi hidup di tengah masyarakat.”

Namun tantangan sesungguhnya bukan terletak pada peresmian seremoni atau pengumuman manis dari kampus, melainkan pada kesinambungan. Pelestarian budaya bukan pekerjaan satu kali, melainkan proyek jangka panjang yang harus berakar di masyarakat, bukan hanya di menara gading akademik. Keberhasilan Pusat Budaya Sunda dan Mangle versi baru akan ditentukan oleh sejauh mana mereka mampu menyapa publik, masuk ke ruang-ruang warga, dan relevan dengan zaman.

Unpad boleh saja memulai langkah, tapi rakyatlah yang akan menilai: apakah ini hanya proyek pencitraan atau sungguh-sungguh langkah peradaban.