Tanah, Kekuasaan dan Kapital

Dalam Jurnal Prisma: Negara & Kapital dalam Konflik Agraria (2019)

Avatar photo

Oleh: Daniel Dhakidae

Porosmedia.com – Tanah memiliki sejarah besar dan panjang dengan berbagai lika-liku, drama dalam tragika dan euforia. Drama perebutan tanah, baik oleh sesama individu dalam masyarakat maupun perebutan paksa oleh negara dalam hal melucuti hak milik, _land expropriation/land dispossession,_ serta perebutan paksa dalam arti pendakuan sepihak hak atas tanah, _land appropriation,_ dan semuanya menjadi drama kehidupan yang mengalirkan darah dan air mata. Rumah-rumah yang dibongkar paksa dengan alasan semuanya dibangun di atas “tanah negara” menjadi tragedi biasa/sehari-hari di wilayah perkotaan.

Setidaknya ada tiga hal yang memungkinkan semua pergulatan di atas: hak atas tanah; kapitalisme; dan kolonialisme. Dua yang terakhir melibatkan negara, langsung ataupun tidak langsung. Hak atas tanah pada awal zaman, selalu dianggap milik mereka _who tilt the land._ Para penggarap, kerja, dan keringat pertama di tanah itu memberikan mereka hak atasnya, sekurang-kurangnya kalau Leo Tolstoy, pengarang _War and Peace_ dari Rusia, bisa dipegang kebenarannya.

Ketika tanah, _terra, land_ dikerjakan ia berubah rupa dan substansi dan menjadi lahan, _ager,_ yang kelak terkenal dalam seluruh kosa-kata turutannya seperti _agraria,_ _agraris,_ dan sebagainya. Kolonialisme dan kapital yang dibawanya mengubah paham itu secara kasar dan mendasar. Permainan segitiga tersebut mengubah wajah kepemilikan tanah di negeri ini sejak kolonialisme berkuasa, dengan akibat yang masih terasa hingga hari ini.

Baca juga:  Berminat Mencoba Veneer Gigi? Kenali Dulu Dampaknya Pada Kesehatan

Kalau tanah adalah yang paling penting bagi eksistensi manusia dan merupakan salah satu unsur modal terpenting, maka dalam hubungan itu tidak ada yang lebih penting daripada masalah tanah yang ditinggalkan oleh kolonialisme Belanda dan sering dilanjutkan dengan sikap kolonial yang tidak berubah. Bukan hanya penting, tetapi juga menentukan dalam arti mengubah struktur kepemilikan. Dengan menentukan struktur kepemilikan maka dengan sendirinya kekuasaan diciptakan dan dilanggengkan.

Dengan begitu, pikiran kita dibawa kembali pada struktur penjajahan Belanda yang sering dipukul rata menjadi _kolonialisme._ Kolonialisme Belanda terkenal sebagai kolonialisme ekstraktif, dalam arti komersialisasi dan pemetikan keuntungan hasil garapan dan tanah secara mentah dengan mengekspor semuanya ke pasar dunia, yaitu pasar Eropa. Pola dan struktur kepemilikan atas tanah turut berubah dengan menggeser kepemilikan tradisional kepada suatu struktur baru yang disebut sebagai “modern”, individual untuk melayani kebutuhan kapital. Tanah kolektif di Jawa dan Sumatera dipaksakan menjadi tanah milik pribadi, dengan demikian diperkenalkan _private ownership of the land_ pada akhir abad ke-19.

Baca juga:  Manfaat Ketumbar Untuk Kesehatan, Jangan Diremehkan!

Namun, kolonialisme Belanda tidak menyeragamkannya di seluruh negeri. Setidaknya ada tiga jenis yang bisa dikemukakan dalam hubungannya dengan tanah. Pertama, dengan penjajahan ekstraktif Belanda menjalankan sistem penjajahan berbeda di Maluku dibandingkan dengan di Jawa dan Sumatera. Di Maluku, penjajahan ekstraktif itu dijalankan dengan sistem _perkenierschap,_ _perkenierstelsel._ Bidang- bidang tanah tertentu diambil dan dialihkan menjadi lahan tanaman bisnis yang dikelola bangsa Eropa.

Penjajahan ekstraktif di Jawa dengan _cultuurstelsel,_ mewajibkan penyisihan tanah 20 persen buat penanaman tanaman dagang tertentu untuk pasar Eropa. Sementara itu, penjajahan ekstraktif di Sumatera mungkin jauh lebih kompleks dari segi _political economy,_ yaitu suatu sistem perkebunan besar dengan kapital besar yang menuntut infrastruktur besar dan karena itu memerlukan buruh dalam jumlah besar yang harus diimpor dari Jawa dengan berbagai soal yang ditinggalkannya sampai hari ini.

Jenis penjajahan ketiga, yang jarang menjadi diskursus sejarah, disebut sebagai _onthoudende politiek,_ yaitu “penjajahan tanpa menjajah” tanpa memasukkannya ke dalam administrasi penjajahan pusat dari _Pax Neerlandica_ di Batavia. Jenis itu berlangsung di seluruh wilayah yang sekarang dikenal Nusa Tenggara (Timur dan Barat). Namun, dalam hubungan dengan tanah, hal itu berlaku untuk seluruh wilayah yang oleh Belanda dikenal sebagai _de groote Oosten,_ Timur Raya, yang mencakup Borneo, Celebes, Soenda Ketjil, Maluku, dan sebagainya. Dengan demikian, seluruh urusan tanah diserahkan kepada “tuan tanah” masing-masing dan tanah menjadi milik suku/puak dan sebagainya. Pendeknya, tanah bukan milik individual, tetapi suku.

Baca juga:  Masuk Zona Merah Pergeseran Tanah, Sekian Rumah Terancam Direlokasi

Dari ketiganya hanya yang disebut terakhir, “penjajahan tanpa menjajah”, karena kekayaan besar yang dikandung, di atas, dan di dalamnya, tetap menjadi soal dan menggugah rasa keadilan di satu pihak ketika kapital datang dan merundungnya. Di pihak lain, tanah kolektif menjadi satu-satunya alat untuk mempertahankan keutuhan dan daya hidup masyarakat setempat•

*Info pemesanan melalui webstore LP3ES:*

https://galeribuku.lp3es.or.id/produk/Negara-Kapital-dalam-Konfik-Agraria-151349