Skandal Korupsi BJB: Ketika Harta Pejabat Naik, Kredit Macet Menggila

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Deru penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung terhadap skandal keuangan Bank BJB—bank milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat—sebuah ironi mencolok terungkap ke publik: harta kekayaan para pejabat utamanya justru mengalami lonjakan signifikan. Sementara rakyat dibebani dengan kerugian akibat kredit macet dan penempatan iklan bernilai triliunan rupiah yang disinyalir fiktif.

Skandal ini mencuat dari dua kasus besar: penempatan iklan senilai Rp1,1 triliun dan kredit macet kepada sejumlah perusahaan swasta, termasuk PT Sritex. Di antara para tersangka dan saksi, terdapat nama-nama elite BJB yang dulu duduk di lingkar kekuasaan bank tersebut.

Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) mencatat peningkatan tajam pada kekayaan Eks Dirut Bank BJB Yuddy Renaldi, dari Rp66,5 miliar (2023) menjadi Rp90,4 miliar (2024), alias naik Rp23,89 miliar hanya dalam satu tahun.

Tak kalah mencolok, Tedi Setiawan, Direktur Operasional Bank BJB, juga mengalami kenaikan kekayaan dari Rp41,6 miliar ke Rp54,4 miliar pada periode yang sama—selisih Rp12,78 miliar.

Baca juga:  Sejarah Pemadam Kebakaran: Dari Romawi Kuno hingga Indonesia Modern

Ketua LSM Triga Nusantara Indonesia, Ait M Sumarna, menyebutkan bahwa kenaikan fantastis ini menjadi pertanyaan besar, terlebih ketika kondisi keuangan bank dihantui kredit macet dan praktik korupsi. “Ini menyalahi logika publik dan prinsip transparansi,” ujar Ait kepada KabarSunda, Kamis (12/6/2025).

Dalam sistem perbankan, kredit macet bukan sekadar statistik buruk—ia adalah racun yang dapat melumpuhkan stabilitas keuangan lembaga. Ketika debitur gagal membayar, bank menanggung kerugian langsung. Namun pada bank milik daerah seperti BJB, kerugian ini pada akhirnya akan dibebankan kepada publik melalui subsidi APBD atau suntikan modal dari pemerintah provinsi.

Khusus dalam kasus BJB, kredit kepada PT Sritex disoroti tajam. Kejaksaan Agung bahkan telah menetapkan satu tersangka dari internal BJB: Dicky Syahbandinata, eks Pimpinan Divisi Korporasi dan Komersial.

Sebagai pemilik Bank BJB, Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak bisa mengelak dari tanggung jawab moral dan institusional atas krisis ini. Sistem pengawasan internal dan eksternal yang seharusnya mencegah pemberian kredit bermasalah dan pengeluaran dana promosi jumbo ternyata mandul.

Baca juga:  Gagal Total Patung Garuda IKN, Kado 79 Tahun RI ?

Tidak hanya manajemen bank yang patut dipertanyakan, tapi juga Dewan Komisaris, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan bahkan eks Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, yang disebut-sebut turut diseret dalam pusaran kasus penempatan iklan.

Namun hingga kini, KPK belum menahan lima tersangka dalam kasus iklan—dua dari BJB dan tiga dari pihak swasta. Belum ada pula kabar lanjutan soal keterlibatan pejabat tingkat provinsi.

Lonjakan kekayaan para pejabat BJB di tengah badai korupsi mencerminkan lemahnya prinsip good governance. Tanpa transparansi dan akuntabilitas, setiap rupiah kekayaan yang meningkat akan terus dibayangi kecurigaan publik—apakah bersumber dari bonus sah, atau justru dari kebijakan gelap yang merugikan negara?

Dalam konteks ini, Ait M Sumarna menegaskan pentingnya audit forensik terhadap LHKPN para pejabat BJB. “Kenaikan puluhan miliar dalam satu tahun harus dijelaskan, karena ini bukan sekadar pencapaian pribadi, tapi potensi penyalahgunaan jabatan,” ujarnya.

Kasus Bank BJB bukan sekadar cerita tentang kredit macet atau penempatan iklan yang menyimpang. Ia adalah cermin rusak dari tata kelola keuangan publik yang longgar pengawasan, dipenuhi konflik kepentingan, dan minim akuntabilitas.

Baca juga:  Syarat Booster Bagi Pemudik, No Sense of Justice!

Saat kekayaan pejabat meningkat drastis, dan kerugian bank ditanggung rakyat, maka sistem ini telah gagal menjalankan prinsip keadilan sosial dalam ekonomi. Kini bola ada di tangan aparat penegak hukum dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat: akankah mereka berpihak pada rakyat, atau terus membiarkan institusi keuangan daerah menjadi ladang subur korupsi terselubung?