Porosmedia.com – Di dunia yang bising oleh kata dan narasi, kita sering menyempitkan makna komunikasi hanya sebagai keterampilan menyampaikan pendapat, gagasan, atau perasaan secara efektif. Komunikasi dipahami sekadar sebagai alat untuk memengaruhi, membujuk, atau menjelaskan.
Namun, dalam pandangan yang lebih mendalam—baik melalui kacamata filsafat maupun psikologi humanistik—komunikasi bukan semata aktivitas berbicara. Ia adalah seni menyambut keberadaan orang lain.
Filsuf Emmanuel Levinas menekankan bahwa wajah orang lain bukanlah sekadar bentuk fisik, tetapi merupakan seruan etis yang mengundang tanggung jawab. Komunikasi sejati, dalam pengertian ini, tidak bermula dari mulut yang berbicara, melainkan dari hati yang tergerak—sebuah respons eksistensial terhadap kehadiran yang lain.
Levinas mengajak kita untuk melihat komunikasi sebagai tindakan pertama dari rasa hormat: pengakuan bahwa di hadapan kita berdiri seorang pribadi yang unik, dengan dunia batin yang tidak pernah sepenuhnya bisa kita masuki. Maka, komunikasi yang autentik memerlukan kesadaran akan keterbatasan kita dalam memahami, sekaligus keberanian untuk hadir secara utuh dalam dialog.
Psikolog humanistik Carl Rogers menyebut kondisi ini sebagai unconditional positive regard—penerimaan tanpa syarat. Bagi Rogers, komunikasi yang menyembuhkan dan membangun hanya mungkin terjadi ketika kita mendengarkan bukan sekadar untuk menjawab, melainkan untuk memahami. Ini adalah pendengaran dengan empati, yang memungkinkan dunia batin orang lain tampil tanpa rasa takut akan dihakimi atau diperbaiki.
Artinya, komunikasi sejati bukan soal memperbaiki, tetapi menemani. Dalam keheningan yang penuh perhatian, kita menciptakan ruang yang memungkinkan pertumbuhan, pengakuan, dan kebebasan.
Lebih dari sekadar teknik interpersonal, komunikasi adalah sikap batin. Ia menuntut kerendahan hati—kesediaan untuk tidak mengetahui segalanya. Kita tidak sedang mencari kemenangan dalam argumen, melainkan membuka ruang bersama, tempat kehadiran saling diterima dan dimaknai. Di dalam ruang itu, kemanusiaan kita tidak hanya diungkap, tetapi juga dibentuk.
Filsuf Jean-Paul Sartre, meski sering dikaitkan dengan eksistensialisme yang individual, turut menyumbang pemikiran penting: kehadiran orang lain adalah cermin eksistensi kita. Dalam tatapan orang lain, kita menjadi sadar bahwa kita bukan pusat dari segalanya. Maka komunikasi mengandung paradoks eksistensial: kita menemukan diri kita justru dalam keterbukaan terhadap keberadaan yang lain.
Di era modern yang serba cepat dan penuh distraksi, kita membutuhkan lebih dari sekadar kemampuan berbicara. Kita memerlukan kebijaksanaan untuk diam dengan makna, mendengar dengan hati, dan berbicara dengan kasih.
Kita butuh ruang-ruang dialog yang tidak menjadi ajang adu pendapat, tetapi pertemuan batin. Tempat di mana empati, kehangatan, dan kerendahan hati menjadi jembatan antar jiwa. Di sinilah komunikasi menjelma sebagai tindakan eksistensial—menghubungkan bukan hanya pikiran, tetapi keberadaan.
Akhirnya, komunikasi adalah panggilan untuk menjadi manusia yang lebih utuh. Sebuah perjalanan yang dimulai dari kesadaran ini: bahwa di balik setiap kata, terdapat dunia yang menunggu untuk dihargai.