Porosmedia.com — Muda dan mudi itu saling diam. Tegap dan teguh sepenampakan sosok mereka berdua diterangi cahya purnama. Malam itu, di tepi Pantai Kalinyamat, Jalu dan Ratri berdiri saja membiarkan anak-ajak rambut mereka dipermainkan angin.
Bulan Purnama dan Pantai Laut Jawa yang tenang menjadi saksi, pertemuan penting malam itu sebelum besok hari jung-jung Kalinyamat berlayar meninggalkan Tanah Jawa.
Bagaikan dua patung, tapi saling memanja mata dan sekaligus menafsirkan; apa makna hitam dan putih yang di selayar bola mata mereka.
Meski senampak tenang dan bening. Tapi tak dipungkri keduanya merasai riak dan dera. Kegelisahan, tiada lain, itu yang saling mereka tangkap dan rasakan.
“Jangan, Ratri. Tolong dengar kata-kataku. Jangan engkau ikut berangkat,” kata Jalu.
Makin nanar tatap Ratri menelanjangi laki-laki tampan yang bagaikan patung selama itu memandanginya.
“Aku ini prajurit, Kakang Jalu,” seru Ratri, “jika tugas telah memanggilku ….”
“Maka, sekalipun aku. Kekasihmu yang teramat sangat kau sayang ini tak bisa pula mencegahmu.”
Ditatap hitam, tenang dan bening, sepasang indah yang selama ini menjadi hantu sekaligus penghiburnya. Betapa sesungguhnya; jika sudah menatap sebegitu, menyebabkan seluruh tubuh Ratri tergetar. Berkecamuk batinnya tak mudah dikendali.
Tapi sepasang hitam nan bagus itu adalah kembar indah yang tak tergantikan keelokannya selama ini ia pernah melihatnya. Jalu adalah kekasihnya. Saling kenal setahun yang lalu disebabkan saling kagum.
Dipertemukan, ketika itu ada pendadaran masuk menjadi laskar Kalinyamat. Karisma Ratu Retna Kencana yang gagah, telah lebih jauh mengikatkan kecintaan mereka, tidak saja sekadar kekaguman.
Bagaimana tidak. Seorang perempuan yang anggun jelita. Sudah begitu anak dari seorang raja. Putri kinasih Sultan Trenggana, raja Demak. Kenapa juga bertabiat perwira?
Membentuk laskar keprajuritan yang kuat dan menyusun barisan perang dengan semangat juang bagaikan gelora ombak samodera. Untuk apa semua itu? Bukankah Kalinyamat hanya wilayah kecil. Bukan Kesultanan Demak yang masyur dan memang dari sejarahnya dibentuk untuk menjalani perang.
Butuh apa Kalinyamat membentuk laskar perang?
“Untuk mempertahankan harga diri,” begitu kata Ratu Retna Kencana. “Untuk andil membela kebenaran dari laku angkara.”
Kata-kata ratu jelita itu memang gagah belaka. Cepat merambati benak-benak siapapun berjiwa gagah. Agar ikut pula bersegagah dan serupa dengannya.
Oleh karenanya, Jalu dan Ratri menyambut gembira, ketika Kerajaan Kalinyamat membuka pendaftaran bagi siapa saja yang terbuka hatinya dan bersuka ingin menjadi bagian dari perjuangan ratu muda, jelita dan gagah itu.
Tidak tabu bagi Ratri meleluasakan keinginannya hendak menjadi bagian dari kegagahan laskar Kalinyamat. Bukankah Raja Kalinyamat juga seorang perempuan sepertinya. Tabu apanya?
Begitupun ketika saat ini, Ratri menghadapi Jalu, kekasihnya. Kenapa ia harus mundur dari rencana. Hanya karena ia perempuan?
“Hanya karena engkau, kekasihku, Ratri,” seru Jalu.
“Jika pun nanti dalam pertempuran melawan Portugis, kapal Kalinyamat tenggelam. Kau tidak harus …”
“Tidak harus apa?” sela Ratri. “Aku ini sebagaimana engkau, Jalu sayang. Jika pun kapal kita tenggelam, maka aku tidak akan menangisi ihwal kekalahan ini. Kita tenggelam bersama.”
Tercekat Jalu mendengar penjelasan Ratri. Meski pandangannya nanap dan nanar menthelengi Ratri kekasihnya, tapi tak urung terbit senyumnya. Ia tak salah memilih kekasih.
Ialah gagah segagah Ratu Kalinyamat junjungan mereka. Segagah ia. Jalu kekasih Ratri. Karena ia pun menjadi laskar di bawah kepemimpinan sang perempuan mahawira.
Pelan perlahan, pandangan mata Jalu melemah. Sayu dan sendu. Tak kuasa ia menolak haru. Berkaca-kaca kedua matanya memandangi Ratri.
Jalu dan Ratri adalah prajurit setia Laskar Kalinyamat. Keduanya berprasetia dan terikat prasetia dengan janji suci. “Pantang pulang sebelum Portugis jahanam hengkang.”
Jika tidak diperangi dari sekarang, tak hanya Malaka, Samodera Pasai dan juga Indragiri dan Darmasraya diregamnya. Tapi juga seluruh Tanah Jawa yang kaya pun akan disatroninya.
Meski tidak sekapal, namun Jalu dan Ratri berlayar bersama 400 Jung berlayar tiga yang khas. Itulah kapal-kapal bakoh dari Kalinyamat yang konon penuh ukiran karena dikria oleh seorang pengelana bernama Toyib. Seorang tampan, gagah dan perwira yang ternyata seorang pangeran dari Negeri Pasai. Ialah kemudian bernama Pangeran Hadiri dan menjadi suami Ratu Retna Kencana.
Kesultanan Pasai merupakan asal dari Pangeran Hadiri. Bertahun lamanya dihegemoni kekuasaan Portugis. Maka, getar hati sang suami menyebabkan pula getaran hati Retna Kencana.
Jika kemudian ia membentuk laskar perang dan menggiring Jung-jung, kapal megah kebanggaan Kalinyamat, sudah menjadi lazimnya. Sebab Retna kencana mencintai Toyib alias sang pangeran dari Pasai. Tersebab ia teramat sangat pula mencintai Kalinyamat. Memerangi Portugis adalah martir. Sebuah keharusan.
Sebagai seorang tamtama, Jalu memimpin salah satu Jung mengepalai seribuan prajurit. Sedangkan Ratri yang teramat dipercayai Ratu Kalinyamat, menjadi pengiring setianya. Mengepalai juga ratusan laskar perang satu kapal dengan sang Raja.
Jung-jung Kalinyamat pelan tapi pasti lajunya. Ombak Laut Utara Jawa yang landai memang tidak segahar angin Pantai Selatan Jawa. Tapi didorong oleh janji suci dan semangat juang, bagaikan segugus bangau terbang. Bukan bersikehendak menuju kandang tapi menjumpai pengharapan: pantang pulang sebelum kapal musuh karam. (Dwi Klik Santosa)
Sukoharjo
28 Januari 2025