Porosmedia.com, Bandung – Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung kembali melaksanakan penertiban terhadap lima pedagang kaki lima (PKL) dan bangunan liar di dua titik, yakni Jalan Raya Cibaduyut, Kecamatan Bojongloa Kidul, dan Jalan Cimencrang, Kecamatan Panyileukan, Kamis (10/7/2025). Operasi ini dilakukan sebagai bentuk penegakan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 9 Tahun 2019 tentang Ketertiban Umum, Ketenteraman, dan Perlindungan Masyarakat.
Kepala Bidang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat (Trantibum) Satpol PP Kota Bandung, Yayan Ruyandi, menyatakan bahwa penertiban ini merupakan respons terhadap laporan warga serta hasil monitoring lintas instansi kewilayahan.
“Kegiatan ini adalah tindak lanjut dari laporan masyarakat yang merasa terganggu oleh aktivitas PKL dan bangunan liar di ruang publik. Seluruh prosedur administratif telah kami jalankan, termasuk tiga tahap Surat Peringatan (SP) sebelum dilakukan pembongkaran,” ujar Yayan di lokasi.
Di Jalan Cibaduyut, dua unit bangunan semi permanen berupa tambal ban dan warung dinilai menutup saluran air serta menghambat akses menuju kawasan Bandung Business Center (BBC). Sementara di Jalan Cimencrang, petugas menertibkan satu pom mini dan dua warung yang telah lama berdiri tanpa izin di ruang milik jalan (rumija).
“Kami sudah berikan edukasi, sosialisasi, bahkan peringatan melalui pihak kecamatan dan kelurahan. Namun karena tak ada perubahan, tindakan pembongkaran menjadi langkah terakhir,” tegas Yayan.
Operasi ini melibatkan 243 personel gabungan dari Satpol PP, TNI, Polri, Dishub, Dinas SDABM, DLH, Dinas Kesehatan, dan unsur kewilayahan. Sebagian alat berat juga dikerahkan di titik-titik yang memerlukan proses pembongkaran teknis, khususnya di Cimencrang.
Meskipun langkah ini mencerminkan komitmen Satpol PP dalam menegakkan aturan, sejumlah kalangan menilai bahwa pendekatan penertiban semata tanpa strategi jangka panjang hanya akan memindahkan masalah ke lokasi lain. Berulangnya pelanggaran di kawasan Pasirluyu—yang bahkan kembali ditertibkan tanpa siklus SP1–SP3—menjadi bukti bahwa akar persoalan PKL belum benar-benar diselesaikan.
Satpol PP memang memiliki landasan hukum yang kuat untuk bertindak, namun harus diimbangi dengan pendekatan humanis, terutama ketika yang ditertibkan adalah kelompok ekonomi kecil yang terdorong berjualan karena tekanan kebutuhan hidup dan minimnya akses ruang usaha yang legal.
“Penertiban bisa sah menurut aturan, tapi jika tidak diikuti solusi komprehensif seperti penataan zonasi PKL, penyediaan tempat relokasi, hingga pembinaan ekonomi, maka potensi konflik sosial tetap besar,” ujar salah satu aktivis kebijakan publik di Bandung.
Satpol PP mengakui bahwa penegakan aturan harus dibarengi dengan edukasi berkelanjutan. Namun, pertanyaannya kini: apakah Pemkot Bandung melalui dinas terkait sudah menyiapkan sistem pendukung yang cukup bagi eksistensi ekonomi mikro seperti PKL?
Dalam kesempatan berbeda, Kepala Diskominfo Kota Bandung, Yayan A. Brilyana, menyampaikan harapannya agar masyarakat lebih taat aturan, sekaligus menyerukan pentingnya kolaborasi antara warga, aparat, dan pemerintah kota.
“Kami berharap kesadaran masyarakat tumbuh untuk tidak memaksakan diri membuka usaha di ruang-ruang yang dilarang. Tapi kami juga terbuka terhadap masukan dan akan terus evaluasi pendekatan terbaik dalam menata kota,” tuturnya.
Operasi penertiban ini menunjukkan satu sisi dari upaya Pemkot Bandung menciptakan kota yang tertib dan aman. Namun, keberhasilan sejati bukan hanya tentang berapa banyak bangunan liar yang dibongkar, tetapi seberapa adil, solutif, dan berkelanjutan penataan kota ini dijalankan.