Rumitnya Pemakzulan Wapres: Antara Teori Konstitusi, Fakta Politik, dan Keniscayaan Suara Rakyat

Avatar photo

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes

Porosmedia.com – Isu pemakzulan Wakil Presiden kembali mengemuka. Setelah sempat meredup, surat dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI (FPPTNI) yang mendesak DPR RI untuk memakzulkan Wapres kini menjadi bahan diskusi serius di sejumlah forum publik. Dua program talkshow populer, Rakyat Bersuara (iNews) dan Indonesia Lawyers Club (YouTube), minggu ini membedahnya secara terbuka. Meskipun saya tidak menjadi narasumber dalam dua forum tersebut, tulisan ini berupaya menyuguhkan analisis yang jernih, kritis, dan tetap objektif.

Pemakzulan bukanlah sekadar isu legal atau politik. Ia adalah akumulasi dari aspirasi, kekecewaan, dan kehendak rakyat terhadap sebuah kepemimpinan nasional. FPPTNI secara resmi telah menyurati DPR RI dengan dasar empat pelanggaran serius oleh Wapres: cacat konstitusional dalam pencalonannya (dampak Putusan MK 90), ketidakcakapan moral dan intelektual, rekam jejak digital bermasalah lewat akun Kaskus “Fufufafa”, serta dugaan korupsi yang melibatkan keluarga dekat dan sudah dilaporkan ke KPK.

Lebih lanjut, akun resmi Instagram @gibran_rakabuming terpantau mengikuti akun-akun judi online—suatu skandal etika publik yang bahkan direspons dengan dalih tidak masuk akal: akun-akun itu “berubah nama”. Apakah seorang pejabat tinggi negara boleh ceroboh dalam hal sekecil ini?

Baca juga:  Indonesia Police Watch (IPW) mengapresiasi keberhasilan Polri membebasan Pilot Susi Air

Secara komposisi, DPR RI hasil Pemilu 2024 menunjukkan dominasi partai-partai koalisi pemerintah (KIM Plus) dengan total 470 kursi dari 580 kursi DPR. PDIP, yang kini justru menjadi oposisi tunggal, hanya memiliki 110 kursi (18,9%). Secara teoritik, ini artinya manuver untuk menggulirkan pemakzulan membutuhkan koalisi lintas partai, termasuk keberanian moral dari partai-partai pendukung pemerintah sendiri.

Namun secara prosedural, Pasal 7B UUD 1945 mengatur tahapan pemakzulan yang sangat kompleks:

1. Diusulkan oleh minimal 25 anggota DPR dari sedikitnya dua fraksi.

2. Disetujui 2/3 anggota yang hadir dalam rapat paripurna DPR (kuorum minimal 2/3 anggota hadir).

3. Dilanjutkan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji validitas pelanggaran konstitusional.

4. Jika terbukti, proses berpindah ke MPR untuk pengambilan keputusan akhir, dengan syarat serupa: 2/3 kuorum dan 2/3 suara setuju.

Secara teoritis, proses ini nyaris mustahil di tengah parlemen yang dikendalikan mayoritas loyalis kekuasaan.

Ingat tahun 1998? Rezim yang bertahan 32 tahun bisa runtuh hanya dalam hitungan hari ketika rakyat bersatu dan menolak arogansi kekuasaan. Artinya, sekuat apapun benteng kekuasaan formal, ia tak akan mampu menahan gelombang perubahan jika rakyat sudah bulat bersuara.

Baca juga:  Pemilu 2024 Banyak Terjadi Kejanggalan

“Vox populi, vox dei”—suara rakyat adalah suara Tuhan—bukanlah sekadar jargon Latin. Ia adalah filosofi kekuasaan dalam demokrasi: bahwa legitimasi tidak bersumber pada kekuatan kursi semata, tapi pada kehendak rakyat yang berdaulat.

Seorang Wakil Presiden seharusnya menjadi simbol kehormatan negara. Prinsip noblesse oblige mengikat pejabat tinggi untuk menjaga sikap, moral, dan integritas publik secara utuh. Jika bahkan akun media sosial resmi miliknya terindikasi mengikuti konten destruktif, bagaimana mungkin ia dianggap layak mewakili nilai luhur bangsa?

Terlebih lagi, pengabaian terhadap norma hukum, etika publik, dan logika konstitusional oleh elit justru berpotensi menciptakan preseden buruk dalam sejarah demokrasi kita.

Proses pemakzulan memang panjang, kompleks, bahkan terkesan mustahil. Namun sejarah selalu menyisakan ruang bagi hal-hal tak terduga. Ketika rakyat bersuara dan elite tak mampu menjawab dengan jujur, maka kehendak publik akan menemukan jalannya sendiri. Entah lewat jalur konstitusi yang rapi, atau lewat tekanan politik yang tak bisa dibendung.

Pemakzulan bukan semata-mata tentang menghukum seorang individu. Ia adalah koreksi besar terhadap sistem yang cacat. Dan bila negara ini ingin selamat dari krisis moral kepemimpinan, maka menyoal kelayakan etis dan hukum Wakil Presiden adalah langkah awal yang tak bisa ditunda lagi.

Baca juga:  UU IKN Untuk Siapa?

#MakzulkanFufufafa — sebelum norma negara ini sepenuhnya hancur oleh kelonggaran etik di puncak kekuasaan.

Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes — Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen. Jakarta, 12 Juni 2025