Prajurit Tua dan Negeri Pelupa “Kami Rebut, Kalian Duduki. Jangan Paksa Kami Bangkit Lagi.”

Avatar photo

Jakarta, 12 Mei 2025
Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPARB, CPM
(Kepala Badan Intelijen Strategis TNI 2011–2013)

Porosmedia.com — Sejarah Indonesia bukan dibangun oleh sidang pleno, seminar akademik, atau riset kebijakan. Republik ini lahir dari darah, senjata, dan tekad tak kenal lelah dari para prajurit muda yang bersedia mati untuk satu kata: Merdeka.

Militer: Bukan Pelengkap, Tapi Fondasi

Ketika Proklamasi 17 Agustus 1945 dikumandangkan, negara belum ada. Tidak ada birokrasi, tidak ada hukum, bahkan kepolisian pun belum terbentuk. Yang ada hanyalah senjata sisa Jepang dan tekad anak bangsa yang tak sudi kembali dijajah. Militer lah yang pertama berdiri, merebut wilayah, menegakkan ketertiban, mengatur logistik, dan menjaga keamanan.

Militer tidak datang sesudah negara berdiri—merekalah pendiri de facto Republik Indonesia. Sebelum ada struktur sipil, sudah ada pasukan bersenjata yang menjaga kota, desa, bahkan distribusi pangan.

Dikurung Demi Demokrasi, Dilecehkan Setelahnya

Seiring perjalanan, Indonesia mulai menata diri sebagai negara hukum. Militer ditarik dari ruang-ruang sipil, disapih dari politik, dan dijauhkan dari panggung kekuasaan. Setelah reformasi 1998, semua akses itu ditutup rapat. Militer dikandangkan, diberi batas: hanya bertugas bila ada ancaman nyata.

Baca juga:  DPRD Kota Depok Tetapkan Supian Suri – Chandra Rahmansyah, Sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Terpilih

Tapi kini, saat para purnawirawan mulai bersuara—mengingatkan negeri tentang ancaman yang tak kasat mata—mereka justru dihina. Disebut haus kekuasaan. Dianggap tak relevan. Padahal mereka tidak sedang merebut kursi, hanya ingin menyampaikan pesan: Negara ini dulu kami rebut dengan darah. Jangan buat kami menyesal telah melakukannya.

Ketika Militer Dituding, Tapi Koruptor Dibiarkan

Ironi berikutnya datang dari ruang publik. Ketika UU TNI direvisi agar sesuai dengan dinamika ancaman masa kini, reaksi sebagian kelompok sipil berlebihan. Mereka menuding militer ingin kembali berkuasa. Padahal, tidak satu pasal pun bicara soal ambisi politik.

Yang mereka tolak: tentara menjaga lembaga negara dari teror. Yang mereka diamkan: korupsi merajalela, hukum dipermainkan, sumber daya dijual ke asing. Ketika tentara disiagakan untuk mengamankan jaksa yang terancam, mereka ribut. Tapi saat aparat penegak hukum dilumpuhkan mafia, mereka bungkam.

Prajurit Tua: Punya Luka, Punya Hak Bersuara

Para purnawirawan bukan boneka tua yang hanya pantas diam. Mereka saksi sejarah yang pernah memikul senjata demi negeri ini. Ketika mereka berbicara, itu bukan ambisi, tapi nurani. Mereka tidak bicara untuk jabatan, melainkan untuk kewarasan.

Baca juga:  #MATCHED menurut AI, Pasfoto di "Ijazah JkW" adalah DBU, AMBYAR ...!

Namun kini, suara mereka dijadikan bahan cemooh. Dianggap “sudah habis masa pakai.” Padahal justru karena mereka tidak lagi mengejar jabatan, maka suara mereka lebih jujur dari siapa pun di lingkar kekuasaan.

Jangan Paksa Kami Bangkit Lagi

Kalian, generasi sipil hari ini, menikmati kursi empuk di atas fondasi yang kami bangun dari luka dan kehilangan. Tapi ketika kami bicara, kalian balas dengan fitnah dan ejekan.

Kami bukan hantu Orde Baru. Kami adalah bayangan sejarah yang tetap berdiri di belakang negeri ini. Kami bukan musuh demokrasi, tapi kami juga bukan boneka yang kalian kemas dalam lemari nostalgia.

Kami tak ingin kembali berperang. Tapi jika keadaan memaksa—jika kalian terus menginjak harga diri kami dan mengabaikan nurani bangsa—jangan salahkan bila prajurit tua kembali bangkit. Kami tidak lupa caranya bertempur. Dan kami tidak takut membela negeri ini… bahkan dari tangan kalian sendiri.

Negeri ini tidak lahir dari kenyamanan. Ia lahir dari kesakitan. Dan kami yang membayarnya. Jangan remehkan memori luka, karena itu yang membuat kami tetap peduli.