PLTSa Jawa Barat: Ambisi Dedi Mulyadi Menjawab Krisis Sampah dan Energi Terbarukan

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengumumkan rencana pembangunan empat kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di wilayah aglomerasi Jabar. Proyek strategis ini lahir dari kerja sama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Danantara, dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), yang menandai langkah baru dalam penanganan sampah perkotaan berbasis energi hijau.

Empat kawasan utama yang disiapkan mencakup Bogor–Kabupaten Bogor, Bogor–Depok, Bekasi Raya, serta klaster besar Purwakarta–Karawang–Subang–Bandung Raya–Cimahi–Cianjur–Sukabumi–Kabupaten Bandung.
“Seluruh wilayah itu sedang dalam tahap persiapan. Saat ini kami fokus menyiapkan Sarimukti sebagai pilot project,” ujar Dedi, dikutip dari Tribun Jabar, Sabtu (11/10/2025).

Target 2027, Optimisme Tanpa Beban APBD

Dedi menegaskan bahwa proyek PLTSa ini ditargetkan mulai konstruksi paling lambat tahun 2027, bahkan diharapkan bisa dimulai dalam 1,5 hingga 1,6 tahun ke depan.

Pemprov Jabar, menurutnya, akan berperan pada aspek penyediaan lahan, pengelolaan sampah, dan percepatan perizinan, sementara pendanaan penuh ditanggung oleh Danantara.

Dengan demikian, pemerintah daerah tidak dibebani biaya pembangunan maupun pembebasan lahan.
“Ini bukan proyek yang membebani keuangan daerah. Kami ingin menghadirkan solusi yang konkret dan mandiri,” kata Dedi.

Sebelumnya, ia telah bertemu dengan CEO Danantara sekaligus Menteri Investasi Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani, di Jakarta, Kamis (9/10/2025), untuk membahas aspek teknis dan target penyelesaian dalam dua tahun ke depan.

Baca juga:  Ema Ecah, Terima Kasih Bapak Jenderal Kunto

“Sampahnya Hilang, Listriknya Terang”

Dedi menyebut proyek ini sebagai “kabar baik bagi warga Jawa Barat”, karena mampu menjawab dua masalah krusial sekaligus: pengelolaan sampah dan kebutuhan energi terbarukan.
“Buat warga Jawa Barat, urusan sampah nggak usah pusing lagi. Danantara akan membangun pembangkit tenaga sampah hampir di seluruh wilayah Jawa Barat,” ujarnya.

“Dua tahun ke depan, Insya Allah, sampahnya hilang, listriknya terang,” tambahnya penuh keyakinan.

Namun di tengah optimisme tersebut, muncul sejumlah catatan kritis.
Pengamat lingkungan Andreas, menyoroti potensi tumpang tindih pasokan bahan baku sampah, khususnya di wilayah Bogor, di mana anak usaha BUMD Jabar, PT Jasa Sarana, telah mengoperasikan fasilitas RDF (Refuse Derived Fuel) yang memasok material ke Pabrik Semen Tiga Roda di Cibinong.
“Pertanyaannya, apakah tidak akan terjadi perebutan bahan baku sampah antara PLTSa dan RDF yang sudah berjalan?” ujarnya.

Andreas juga menyoroti absennya penyebutan wilayah Sumedang, Garut, Majalengka, Indramayu, dan Cirebon dalam rencana awal, padahal daerah-daerah tersebut justru sedang tumbuh sebagai kawasan industri dan ekonomi baru.

“Jika tujuan proyek ini adalah pemerataan dan efisiensi energi hijau, semestinya Jabar bagian timur tidak tertinggal dalam agenda besar ini,” tambahnya.

Baca juga:  Duel Dingin di Gedung Sate: Ketika Sekda Jabar Dinilai “Meninggalkan Ring” dan Wagub Meradang

PLN EPI dan Biomassa: Arah Baru Ekonomi Energi Hijau

Di sisi lain, langkah serupa dilakukan oleh PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) bersama PT Biomassa Energi Group (BEG) dan perusahaan Polandia G7 Group SP.Z.O.O.

Ketiganya menandatangani nota kesepahaman (MoU) untuk membangun lima pabrik biomassa baru setelah pabrik pertama berbasis pelet tandan kosong kelapa sawit dijadwalkan beroperasi pada Februari 2026.

“Lima pabrik tambahan akan menyusul, dengan kapasitas serupa atau bahkan lebih besar,” ungkap Rogowski Wojciech Marek, penasihat hukum G7 Group, Jumat (10/10/2025).

Pabrik perdana itu menargetkan produksi 120 ribu ton per tahun, dan seluruh proyek diarahkan untuk memperkuat rantai pasok biomassa Indonesia ke pasar global Asia dan Eropa.

Menurut Marek, Indonesia memiliki posisi strategis untuk menjadi pemimpin pasar biomassa dunia. “Bahkan sebelum MoU ini ditandatangani, kami sudah menyiapkan langkah untuk mengamankan pangsa pasar,” ujarnya.

Direktur Biomassa PLN EPI, Hokkop Situngkir, menyebut potensi biomassa Indonesia mencapai 130 juta ton per tahun, namun baru sebagian kecil dimanfaatkan.

“Kami ingin mengubah potensi itu menjadi peluang nyata, baik untuk dekarbonisasi sistem kelistrikan nasional maupun untuk memenuhi permintaan energi hijau global,” kata Hokkop.
Ia menegaskan, PLN EPI kini tidak hanya berperan sebagai penyedia energi primer dalam negeri, melainkan juga memperluas bisnis ke perdagangan biomassa dan ekspor bahan bakar berkelanjutan, sembari menjaga pasokan domestik untuk program co-firing PLTU.

Baca juga:  Dampak Efisiensi Kementerian Imipas, Anggaran Makan Napi Tak Dipangkas

Kritik dan Tantangan: Integrasi Energi Hijau Jabar

Dua rencana besar — PLTSa Jawa Barat dan ekspansi industri biomassa — memperlihatkan arah baru kebijakan energi nasional menuju transisi hijau.
Namun pengamat menilai, tantangan utama bukan hanya pada infrastruktur dan investasi, melainkan pada sinkronisasi antarwilayah, tata kelola sampah yang berkelanjutan, serta kepastian bahan baku energi.

Jika proyek PLTSa Jabar benar-benar terealisasi, ia akan menjadi model nasional pengelolaan sampah terintegrasi berbasis listrik.

Namun tanpa sinergi antara pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat, program ini berisiko menjadi proyek megah di atas tumpukan persoalan lama: logistik, tumpang tindih kewenangan, dan minimnya edukasi publik soal daur ulang.

“Energi hijau bukan hanya soal mesin pembakar atau teknologi mahal,” ujar salah satu pemerhati energi, “tapi soal sistem yang adil, efisien, dan berpihak pada keberlanjutan lingkungan.”

Porosmedia.com
Energi Hijau, Sampah, dan Masa Depan Jawa Barat: antara ambisi politik, investasi asing, dan tanggung jawab ekologis.