Penataan Pasar Tradisional Bandung : Memberi kenyamanan bagi Pedagang dan Masyarakat Kota Bandung

Avatar photo

Oleh : Wempy Syamkarya|Pengamat Kebijakan Publik dan Politik

Porosmedia.com – Dalam riuh rendah konflik tata kelola ruang ekonomi urban Kota Bandung, pasar tradisional kembali menjadi panggung utama dari tarik-menarik antara kebutuhan modernisasi dan kepentingan kerakyatan. Revitalisasi lebih kearah penataan ekosistem bisa dimulai dari rehabilitasi pasar. Fenomena ini tak hanya terlihat di Pasar Banjaran, Sarijadi, atau Antapani, tapi hampir menjadi pola umum di berbagai wilayah kota yang kini menghadapi tekanan modernitas tanpa cukup pelindung regulasi dan keberpihakan nyata.

‎Titik Kritis: Ketika Dialog Tak Cukup Nyaring

‎Pasar bukan sekadar tempat transaksi ekonomi; ia adalah napas sosial, jejak budaya, dan simbol ekonomi rakyat. Ketika pedagang meminta agar revitalisasi lebih kearah penataan ekosistem bisa dimulai dari rehabilitasi pasar sehingga pembeli juga nyaman untuk datang, mereka sejatinya tidak anti perubahan, melainkan sedang meminta ruang bicara, agar perubahan itu tidak membunuh identitas mereka. Di sisi lain, Perumda Pasar juga tak bisa disalahkan sepenuhnya—mereka diburu target, tuntutan efisiensi, dan mimpi menata wajah kota.

‎Langkah Dirut Perumda yang menyatakan keinginan bertemu langsung dengan para pedagang sebelum terjadi aksi demonstrasi patut diapresiasi. Ini momentum penting untuk menjahit kembali benang-benang kepercayaan yang sempat koyak. Namun, pertemuan itu sebaiknya tidak dimaknai sebagai seremoni pelunakan, melainkan sebagai forum setara yang terbuka, jujur, dan membawa itikad baik dari kedua belah pihak.

‎Revitalisasi atau Penyeragaman?

‎Di banyak kasus, revitalisasi sering dimaknai terlalu sempit—berfokus pada fisik bangunan tanpa memikirkan ulang ekosistem pasar sebagai ruang hidup masyarakat. Pasar Sarijadi misalnya, telah direvitalisasi dengan konsep modern, dengan denyut ekonomi pedagang jadi hidup, nyaman dan bersih. Ini bukan lagi soal beton dan baja, tapi absennya strategi pasca-revitalisasi yang partisipatif.

‎Sementara di Pasar Banjaran, persoalan lebih pelik: ketidakjelasan status kios, minimnya kompensasi, dan pendekatan top-down menjadi sumbu konflik. Ketika regulasi seperti Perda No. 2 Tahun 2009 tak berjalan efektif—terbukti dari menjamurnya minimarket dekat pasar rakyat—maka wajar jika pedagang merasa dipinggirkan.

‎Menyusun Ulang Jalan Tengah

‎Solusi tak bisa lahir dari tekanan sepihak. Pendekatan strategis berbasis kolaborasi perlu dijalankan, sebagaimana dicontohkan oleh kota-kota lain seperti Makassar dengan Forum Komunikasi Pedagang-Pemerintah, atau Denpasar dengan program edukatif Sekolah Pasar. Langkah-langkah ini terbukti mampu membangun kepercayaan dan menjembatani disparitas antara pemerintah dan pelaku pasar.

‎Perlu diingat, membangun kesediaan pedagang untuk berkontribusi dalam pembiayaan revitalisasi bukan hal mustahil—tapi dibutuhkan waktu, pendekatan persuasif, transparansi anggaran, serta skema pembayaran yang fleksibel. Pemerintah dan Perumda harus siap berkomunikasi dua arah dan menyediakan insentif bagi yang berpartisipasi aktif.

‎Rekomendasi Realistis untuk Keberlanjutan

‎1. Tunda untuk Menyempurnakan
‎Penundaan revitalisasi bukan kekalahan, tapi strategi menata ulang fondasi sosial-politik proyek agar lebih kuat. Dalam waktu tersebut, lakukan konsultasi terbuka dengan DPRD, Wali Kota, dan seluruh unsur pemangku kepentingan untuk memperkuat legitimasi.

‎‎2. Bangun Forum Setara dan Terbuka
‎Libatkan paguyuban pedagang sebagai mitra sejajar, bukan objek kebijakan. Forum bersama dapat menjadi ruang untuk menyelaraskan perencanaan teknis dengan kebutuhan riil pedagang.

‎3. Audit Sosial dan Uji Kelayakan Sosioekonomi
‎Lakukan uji kelayakan bukan hanya secara teknis bangunan, tapi juga terhadap dampak sosial dan ekonomi pasca-revitalisasi. Apakah pedagang mampu bertahan di sistem baru? Apakah pendapatan mereka akan meningkat?

‎4. Fokus pada Fungsi, Bukan Sekadar Fasad
‎Pasar rakyat yang sukses bukan yang paling mengilap, tapi yang paling hidup—dipenuhi interaksi sosial, kenyamanan pembeli, serta stabilitas pendapatan pedagang.

‎5. Perkuat Perlindungan Hukum dan Administratif
‎Semua perjanjian sewa harus sesuai UU Bangunan Gedung dan prinsip keadilan. Hapus celah hukum yang membuat pedagang rawan tersingkir dari ruang yang selama ini mereka jaga.

‎Menjadi Kota yang Memihak Warga

‎Bandung bisa menjadi pelopor dalam transformasi pasar tradisional jika mampu menjalankan revitalisasi berbasis keadilan sosial, bukan sekadar investasi infrastruktur. Jangan jadikan modernisasi sebagai dalih untuk memarginalisasi. Sebaliknya, jadikan revitalisasi sebagai jembatan yang menghubungkan impian kemajuan dengan keberlanjutan hidup masyarakat pasar.

Langkah Dirut untuk menemui pedagang adalah awal yang baik. Kini tinggal bagaimana kedua belah pihak menjaga ruang dialog tetap terbuka, bersedia mengalah demi maslahat bersama, dan membuktikan bahwa Bandung bukan kota yang membangun tanpa mendengarkan.