Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah: Antara Efisiensi Birokrasi dan Keberanian Politik Pemkot Bandung

Avatar photo

Oleh: R. Wempy Syamkarya, SH., M.M.
Pengamat Kebijakan Publik dan Politik

Porosmedia.com – Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah jantung keuangan daerah. Ia menentukan seberapa besar kemampuan pemerintah daerah membiayai pembangunan tanpa bergantung sepenuhnya pada dana transfer pusat. Dalam konteks Kota Bandung, peran Dinas atau Badan Pendapatan Daerah (Dispenda/Bapenda) menjadi krusial — bukan hanya sebagai pemungut pajak, tetapi sebagai pengelola integritas fiskal daerah.

Namun, di balik angka-angka laporan keuangan yang tampak rapi, masih tersembunyi sejumlah kebocoran yang sistemik. Kebocoran itu terjadi bukan semata karena kesalahan teknis, melainkan karena lemahnya pengawasan, minimnya transparansi, dan potensi kolusi antara pejabat dan pihak luar yang memanfaatkan kelonggaran sistem.

Paradoks Pendapatan: Angka Naik, Akuntabilitas Turun

Data dari Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) Kemenkeu menunjukkan bahwa pendapatan daerah Kota Bandung mencapai Rp6,874 triliun (anggaran) dengan realisasi Rp4,877 triliun atau sekitar 70,95%. Dari angka tersebut, PAD menyumbang Rp2,172 triliun atau sekitar 67,65% dari target. Angka yang impresif di atas kertas, tetapi belum menggambarkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan yang sesungguhnya.

Mengapa demikian? Karena realisasi yang tinggi tidak otomatis berarti sistem berjalan bersih. Masih banyak celah kebocoran yang belum tersentuh audit mendalam, terutama di sektor pajak daerah, retribusi, dan pengelolaan aset.

Baca juga:  Wali Kota dan Kajati Terlihat Lamban Tangani Kasus PDAM Tirtawening — Ada Apa?

Contoh paling gamblang dapat dilihat pada kasus Kebun Binatang Bandung (Bandung Zoo), di mana Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT) masih menguasai dan memanfaatkan lahan Pemkot tanpa membayar sewa ataupun pajak bumi dan bangunan sejak izin pemakaian tanah berakhir tahun 2007. Kasus ini menandakan kegagalan Pemkot dalam menegakkan otoritas fiskal dan administrasi aset publik.

Kepemimpinan Fiskal: Antara Integritas dan Kepentingan

Kepala Dinas Pendapatan Daerah, Gun Gun, menghadapi tantangan besar: bagaimana menutup kebocoran tanpa mengorbankan independensi institusi. Namun tantangan itu tidak akan bisa dijawab dengan pendekatan administratif semata. Masalah utama bukan hanya pada data dan sistem, melainkan pada keberanian politik.

Selama pengelolaan aset masih diselimuti kompromi dan kongkalikong, kebocoran akan tetap terjadi — entah dalam bentuk manipulasi laporan, penghapusan piutang, atau penggunaan aset tanpa dasar hukum yang jelas.

Transparansi yang sejati hanya bisa dibangun melalui komitmen moral pimpinan daerah, bukan sekadar laporan keuangan yang lolos audit formal.

Masalah Struktural: Lima Luka Lama yang Belum Diobati

Dari hasil analisis dan pengamatan di lapangan, kebocoran aset dan lemahnya pendapatan daerah disebabkan oleh beberapa faktor mendasar:

1. Kurangnya transparansi pengelolaan aset, membuat publik sulit mengawasi nilai dan pemanfaatannya.

2. Pengawasan internal yang lemah, membuka peluang penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang.

Baca juga:  Bulan Dana PMI Kota Bandung 2024 Himpun Rp 1,9 Miliar

3. Dokumentasi aset yang tidak akurat, menyebabkan aset hilang dari pencatatan.

4. Sistem manajemen aset yang tidak efektif, masih manual, tidak terintegrasi, dan rawan manipulasi.

5. Penyalahgunaan jabatan, baik secara langsung maupun melalui pembiaran yang disengaja.

Faktor-faktor tersebut tidak hanya menurunkan pendapatan daerah, tetapi juga menggerogoti legitimasi moral birokrasi.

Rekomendasi: Dari Administrasi Menuju Reformasi

Sudah saatnya Pemkot Bandung keluar dari lingkaran birokrasi yang lamban dan tidak adaptif. Dibutuhkan reformasi pendapatan daerah yang berani, transparan, dan berbasis data terbuka.

Beberapa langkah konkret yang perlu segera dilakukan antara lain:

1. Transparansi Anggaran dan Aset Publik
Semua data pendapatan, aset, dan hasil pengawasan harus dipublikasikan secara daring dan mudah diakses masyarakat.

2. Pembentukan Tim Audit Independen
Audit menyeluruh terhadap potensi kebocoran pajak dan aset perlu dilakukan oleh lembaga independen, bukan sekadar inspektorat daerah yang berada di bawah kendali wali kota.

3. Penguatan SDM dan Etika Birokrasi
Pelatihan dan rotasi jabatan perlu diikuti dengan pengawasan etika dan disiplin yang tegas agar aparatur pajak bekerja profesional dan bebas tekanan politik.

4. Pengembangan Sistem Informasi Terintegrasi
Digitalisasi manajemen pendapatan, pajak, dan aset harus menjadi prioritas agar setiap rupiah yang masuk dan keluar bisa ditelusuri secara real time.

Baca juga:  Terkait Perumda Pasar Kota Bandung, Wali Kota dan DPRD Dinilai Lamban Menangani Persoalan

5. Keterlibatan Publik dan Akademisi
Masyarakat, media, dan lembaga pendidikan harus dilibatkan dalam proses pengawasan dan perumusan kebijakan fiskal daerah.

Saatnya Pemkot Bandung Berani Bersih

Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah tidak akan pernah tercapai jika mental birokrasi masih memelihara kompromi. Pemerintah Kota Bandung harus memahami bahwa setiap kebocoran pendapatan bukan sekadar angka hilang di laporan, melainkan hak publik yang dirampas secara sistemik.

Kepala Dispenda, wali kota, dan seluruh jajaran harus menunjukkan keberanian untuk memutus mata rantai kepentingan yang selama ini membelenggu efektivitas pengelolaan keuangan daerah.

Hanya dengan transparansi total dan keberanian politik, Bandung dapat berdiri sebagai kota yang tidak hanya kreatif dalam slogan, tetapi juga bersih dan berdaulat secara fiskal.