NGULIK: BRIN Tegaskan AI Bukan Ancaman, Tapi Pengingat Bahwa Birokrasi Harus Berbenah

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Marsudi Wahyu Kisworo, menegaskan bahwa Artificial Intelligence (AI) bukanlah ancaman bagi tenaga manusia. Justru, menurutnya, ancaman terbesar datang dari manusia yang enggan beradaptasi dengan teknologi.

“AI tidak akan menggantikan manusia. Tetapi manusia yang tidak menggunakan AI akan kalah dengan manusia yang memanfaatkan AI,” tegas Marsudi dalam Forum Ngumpul Diskusi Teknologi Informasi dan Komunikasi Data Statistik (NGULIK), Kamis (20/11/2025).

Pernyataan tersebut bukan sekadar pandangan teknologi, tetapi kritik implisit bahwa tantangan terbesar saat ini bukan pada kecanggihan AI, melainkan pada kesiapan sumber daya manusia dan birokrasi untuk berubah.

Marsudi menjelaskan bahwa pemanfaatan AI dapat: mempercepat pelayanan publik, mengurangi kesalahan manusia, meningkatkan validitas data dan membantu pemerintah merumuskan kebijakan yang lebih presisi.

Namun di balik optimisme itu, ada kenyataan yang perlu dicermati: AI hanya akan efektif jika data pemerintah benar-benar akurat, terintegrasi, dan terbuka antarinstansi. Tanpa perbaikan fondasi data, teknologi secanggih apa pun hanya akan menjadi etalase modern — terlihat maju, tetapi tidak memberi dampak nyata.

Baca juga:  Forum Ormas dan Komunitas Jabar Tegaskan Komitmen Kebersamaan dan Dukungan Program Nasional

“Dengan AI, proses menjadi lebih cepat dan lebih akurat. Dan yang terpenting, data yang dihasilkan lebih valid,” ungkap Marsudi.

Validitas data ini menjadi titik kritis karena hingga kini banyak pemerintah daerah, termasuk kota besar, masih menghadapi tantangan: tumpang tindih basis data, sinkronisasi antar-OPD yang belum optimal dan kultur kerja manual yang kuat.

Pernyataan BRIN ini harus dibaca sebagai dorongan sekaligus peringatan bagi pemerintah daerah untuk tidak sekadar mengadopsi teknologi, tetapi juga menata ulang sistem kerja internal.

Marsudi memaparkan berbagai implementasi AI di negara lain yang sukses meningkatkan efisiensi layanan—mulai dari pengelolaan aduan masyarakat, prediksi kebutuhan layanan, sampai permodelan risiko kebencanaan.

Contoh-contoh ini menunjukkan satu hal: AI bukan alat ajaib, melainkan instrumen yang memerlukan ekosistem data dan tata kelola yang kuat.

Pengalaman global sudah membuktikan bahwa negara atau daerah yang gagal membangun tata kelola datanya justru menjadi pengguna pasif teknologi—bukan pemiliknya.

Forum NGULIK digelar untuk membuka ruang diskusi antar-OPD mengenai peluang integrasi AI dalam sistem kerja. Namun lebih dari itu, forum semacam ini harus menjadi ruang komitmen, bukan hanya pertukaran wacana.

Baca juga:  Lezat dan Cozy, Ini 3 Rekomendasi Resto di Kota Bandung

Pemkot Bandung memang telah mulai menerapkan pendekatan berbasis data dan AI dalam beberapa sektor: pengelolaan informasi publik, administrasi kependudukan dan perencanaan pembangunan prediktif.

Ini langkah maju, tetapi tantangan sesungguhnya ada pada konsistensi, keberlanjutan, dan penguatan SDM. Teknologi tanpa kapasitas manusia hanya akan menciptakan sekat baru: sebagian kecil pegawai yang melek AI, dan sebagian besar yang tertinggal.

Kota Bandung terus menyuarakan ambisi sebagai kota cerdas (smart city). Namun “cerdas” bukan hanya urusan aplikasi atau algoritma. Pada akhirnya, cerdas adalah tentang: akurasi data, efektivitas tata kelola, kolaborasi antarinstansi dan keberanian meninggalkan cara kerja lama.

AI memang dapat menjadi motor percepatan, tetapi hanya jika birokrasi siap berubah. Pemkot Bandung harus memastikan bahwa teknologi benar-benar digunakan untuk memperbaiki layanan, bukan sekadar menjadi slogan perkembangan digital.

Forum NGULIK mengingatkan bahwa masa depan pemerintahan bukan lagi tentang siapa yang memiliki teknologi paling baru, tetapi siapa yang mampu menggunakannya dengan paling efektif untuk kepentingan publik.