Napak Tilas Luka Sejarah: Wawancara Abah Landoeng dan Ingatan yang Tak Pernah Usai

Avatar photo

“Kami menggali parit dengan tangan kosong. Makan hanya ubi setengah busuk. Setiap hari melihat teman meregang nyawa. Romusha itu bukan kerja paksa—tapi penyiksaan massal.”

Porosmedia.com – Kalimat itu keluar pelan dari mulut Abah Landoeng, lelaki sepuh berusia 99 tahun, saat diwawancara oleh kru TV Belanda, NOS, di Jl. Batik Halus, Kota Bandung pada 14 Juni 2025. Ia duduk tenang namun matanya menyiratkan ribuan lapisan peristiwa yang telah membekas dan membatu di relung sejarah yang sering diabaikan.

Wawancara itu bukan sesi biasa. Kamera, mikrofon boom, dan tanya-jawab dalam suasana jalanan yang tenang menjadi saksi dari upaya mengurai ulang luka sejarah: Romusha, tragedi kemanusiaan era pendudukan Jepang (1942-1945), yang menelan ratusan ribu jiwa pekerja paksa dari Hindia Belanda—termasuk dari Tanah Pasundan.

Romusha bukan sekadar bagian dari buku sejarah. Ia adalah kuburan massal dalam ingatan. Menurut catatan Sejarah Nasional Indonesia dan arsip NIOD (Netherlands Institute for War Documentation), sekitar 200.000 hingga 500.000 orang Indonesia menjadi korban kerja paksa di bawah pendudukan Jepang. Banyak dari mereka meninggal dalam proses pembangunan rel kereta api, jembatan, dan jalan militer di daerah tropis dengan makanan minim dan perlakuan brutal.

Apa yang membuat wawancara Abah Landoeng menjadi momen penting adalah raritas suara penyintas. Di usianya yang mendekati seabad, ia adalah satu dari sedikit manusia hidup yang pernah merasakan langsung pengabdian terpaksa kepada mesin perang Jepang. Dan ironisnya, setelah Indonesia merdeka, para romusha tidak pernah diberi kompensasi maupun pengakuan negara yang layak. Mereka seperti dilupakan oleh dua rezim: penjajah dan bangsa sendiri.

Kehadiran TV NOS dari Belanda menandai satu fase penting: rekonsiliasi sejarah yang tak datang dari negara, tapi dari jurnalisme. Belanda, meski pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun, justru lewat institusi medianya seperti NOS, berani membuka tabir kelam masa lalu. Dalam wawancara tersebut, tim dokumenter mereka ingin menelusuri jejak-jejak kehidupan para korban sistem kerja paksa dan dampaknya lintas generasi.

Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan pada Abah Landoeng menyentuh sisi kemanusiaan yang rawan: Bagaimana rasanya kehilangan masa muda karena kerja paksa? Apakah luka itu sembuh? Apakah negara pernah datang meminta maaf?

Jawaban-jawaban Abah tak keras, tapi menghunjam: “Saya hanya ingin mereka tahu. Kami pernah jadi korban. Itu saja cukup.”

Pertanyaan besar yang harus diajukan pada negara hari ini adalah: Di mana letak keberpihakan kita terhadap sejarah penderitaan rakyatnya sendiri? Sejumlah korban Romusha masih hidup—meski hanya seumur jagung lagi. Namun, negara belum juga menunjukkan komitmen konkret: tidak ada hari peringatan nasional bagi Romusha, tidak ada museum kerja paksa, tidak ada dana kompensasi atau program kesejahteraan khusus.

Jika Belanda lewat NOS datang dari jauh demi mendengar kisah Abah Landoeng, mengapa negara sendiri belum hadir penuh dalam upaya merekonstruksi sejarah korban kolonialisme Jepang?

Bahwa wawancara ini dilakukan di Bandung, kota yang terkenal dengan diplomasi antikolonial (Konferensi Asia Afrika 1955), menambah nilai simbolik. Kota ini adalah saksi zaman, di mana para pekerja paksa pernah diberangkatkan ke pedalaman Jawa Barat, Sumatra, bahkan Thailand. Jl. Batik Halus—tempat wawancara berlangsung—jadi bagian sunyi dari narasi besar yang nyaris luput.

Hari ini, sejarah tidak sedang diceramahkan di aula atau seminar, tapi dituturkan dari mulut seorang sesepuh di bawah bayang pohon, disaksikan oleh dunia luar. Ini adalah bentuk pembelajaran paling jujur tentang nasionalisme: mendengarkan korban, bukan hanya merayakan kemerdekaan.

Wawancara Abah Landoeng harus menjadi pemantik. Bukan hanya sebagai dokumentasi sejarah, tapi sebagai desakan moral agar pemerintah Indonesia mengakui, merawat, dan memperjuangkan keadilan bagi para korban Romusha. Usia mereka tinggal menunggu detik terakhir, tapi harga diri mereka tidak boleh ikut terkubur.

Bangsa besar bukan yang hanya mengenang kemenangan, tapi juga yang berani menatap luka dan memberi tempat bagi setiap suara yang pernah disakiti sejarah.

“Romusha bukan aib. Ia adalah pengingat bahwa kemerdekaan tak gratis. Dan bahwa para korban pun manusia.”

Baca juga:  Usia Abah Landoeng dari 98 ke 99 Tahun: Tata Ulang Rasa Bersaudara & Rasa Bernegara