Menguliti Skandal Kosasih: Ketika Uang Rakyat Dijadikan Alat Warisan Keluarga

Avatar photo

Porosmedia.com – Kasus dugaan korupsi besar-besaran yang melibatkan mantan Direktur Utama PT Taspen, Antonius Nicholas Stephanus Kosasih, kembali mengguncang publik. Berdasarkan dokumen dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 27 Mei 2025, Kosasih diduga memperkaya diri sendiri hingga mencapai Rp34.322.107.459,40 (sekitar Rp34,3 triliun), sebuah angka fantastis yang membuat kasus ini layak disebut sebagai salah satu mega-skandal keuangan negara.

Tak hanya nominalnya yang mencengangkan, modus yang dilakukan pun sangat sistematis: skema investasi fiktif melalui PT Taspen—sebuah BUMN yang seharusnya menjadi pelindung finansial pensiunan PNS. Ironis, uang para abdi negara justru dijadikan ladang bancakan.

Fakta-Fakta Mengerikan di Balik Angka

Berdasarkan surat dakwaan yang dibacakan jaksa, Kosasih memperkaya diri melalui dua jalur: rupiah tunai sebesar Rp28,4 miliar dan berbagai valuta asing (valas) seperti USD 127.037, SGD 283.000, Euro 10.000, dan JPY 128.000. Nilai valas ini jika dikonversikan berdasarkan kurs per 27 Mei 2025 menambah angka total menjadi lebih dari Rp34 miliar. Namun ini hanya puncak gunung es.

Uang hasil korupsi ini digunakan untuk membeli sejumlah aset mewah, termasuk 11 unit apartemen, kendaraan pribadi untuk anak-anaknya, serta tiga bidang tanah. Dua nama disebut secara eksplisit: Callista Madona Kosasih dan Ashley Kirsten Kosasih—anak dari terdakwa—menjadi penerima manfaat langsung dari dana hasil kejahatan negara.

Baca juga:  Jasa Tirta II Hadiri World Water Forum (WWF) ke- 9 di Senegal

Dari Investasi Fiktif ke Warisan Borjuis

Modus investasi fiktif di PT Taspen patut menjadi bahan evaluasi serius. Taspen selama ini dikenal sebagai badan pengelola dana pensiun para ASN dan aparatur negara. Bahwa uang mereka diputar dalam instrumen fiktif, yang bukan hanya tidak menguntungkan negara, tetapi malah menguntungkan individu tertentu, menunjukkan adanya lubang hitam dalam sistem pengawasan dan regulasi investasi BUMN.

Tidak kalah mencengangkan adalah bagaimana hasil dari praktik korup ini dialihkan menjadi alat warisan keluarga: properti, kendaraan, dan aset atas nama pribadi. Ini mencerminkan pola klasik dalam korupsi: menormalisasi kejahatan negara sebagai cara “menyejahterakan” keluarga.

Kritik Keras terhadap Aparat Pengawas dan Kementerian BUMN

Kasus ini menampar keras institusi pengawasan internal PT Taspen dan, lebih luas lagi, Kementerian BUMN. Bagaimana mungkin investasi fiktif dengan nilai sedemikian besar tidak terdeteksi dalam audit internal maupun pemeriksaan tahunan? Apakah memang ada pembiaran sistemik atau justru sudah terjadi simbiosis mutualisme antara pejabat dan para pelaku korup?

Baca juga:  PT Pos Indonesia Gandeng Polda Jabar Gelar Vaksinasi Booster

Jika lembaga sekelas Taspen saja bisa dibobol, bagaimana dengan BUMN lainnya yang memiliki skema investasi lebih rumit?

Refleksi Kultural: Korupsi sebagai Etika Baru di BUMN

Kosasih bukan kasus pertama dan kemungkinan besar bukan yang terakhir. Pola ini terus berulang. Korupsi bukan lagi sekadar penyimpangan, tapi nyaris menjadi “etika baru” dalam kepemimpinan sejumlah BUMN: asal bisa memutar uang negara, legitimasi moral bisa dinegosiasikan.

Fenomena ini memperlihatkan dua penyakit akut:

1. Keterputusan nilai integritas dalam birokrasi elite.

2. Absennya sanksi sosial dalam kultur manajerial Indonesia.

Mendesak: Pembekuan Aset dan Restitusi untuk Negara

Sudah waktunya negara mengambil langkah keras. Semua aset yang dibeli atas nama anak dan keluarga Kosasih harus dibekukan dan dijadikan objek sita. Negara juga harus menuntut restitusi secara penuh dan transparan. Selain itu, aparat harus mengembangkan kasus ini ke kemungkinan keterlibatan pihak-pihak lain—baik internal PT Taspen maupun rekanan yang ikut menikmati hasil kejahatan korporasi ini.

Negara Harus Hadir, Bukan Cuma Saat Pencitraan

Baca juga:  Polisi Gerebek Arena Sabung Ayam di Wilayah Polsek Cibeureum

Kasus ini bukan hanya soal pelanggaran hukum. Ini adalah simbol pembusukan birokrasi di level tertinggi. Negara tidak boleh lagi menjadi penonton yang hanya hadir di ruang sidang, tapi harus melakukan revolusi pengawasan dan penegakan hukum di lingkungan BUMN. Jika tidak, rakyat hanya akan terus jadi korban, sementara para penjahat berdasi menyiapkan warisan mewah untuk generasi mereka yang tidak pernah tahu bagaimana getirnya hidup sebagai rakyat biasa.