
Porosmedia.com — Pernahkah kita mendengar celetukan seperti ini: “Netizen +62 mah gampang banget dibodohi.” Kalimat itu bisa datang dari orang luar negeri, bisa juga muncul dari sesama kita. Lucu, tapi getir. Sakit, tapi mungkin ada benarnya. Lalu, kenapa anggapan seperti ini bisa muncul? Apakah bangsa Indonesia memang “bodoh”? Ataukah ada sesuatu yang lebih mendasar yang luput kita sadari?
Sebagai bangsa besar dengan sejarah panjang, sebenarnya kita tidak kekurangan kecerdasan. Tapi kita kekurangan satu hal yang krusial: literasi fungsional.
Bukan Sekadar Bisa Membaca
Menurut data UNESCO, tingkat melek huruf Indonesia memang cukup tinggi. Namun, ketika bicara soal literasi fungsional—kemampuan memahami informasi, menganalisis data, serta membuat keputusan berbasis logika—kita masih tertinggal. Banyak yang bisa membaca teks, tapi tidak mampu menangkap konteks. Inilah tantangan utama kita.
Masyarakat kita mudah terjebak pada headline, pada caption singkat, bahkan pada informasi viral yang belum tentu benar. Kita punya budaya membaca, tapi belum terbiasa membaca dalam. Apalagi berpikir kritis.
Budaya Takut Salah dan Enggan Bertanya
Dari kecil, kita dididik untuk patuh dan tidak banyak bertanya. “Jangan banyak tanya!” adalah kalimat yang sering keluar dari orang tua, guru, atau bahkan pemuka agama. Dampaknya? Kita tumbuh dalam budaya takut salah dan takut mencoba.
Padahal, semua inovasi besar di dunia justru lahir dari orang-orang yang tak berhenti bertanya. Pertanyaan “kenapa” dan “bagaimana” adalah fondasi berpikir ilmiah dan kebijaksanaan sosial. Bangsa yang takut bertanya akan terjebak pada pengulangan, bukan kemajuan.
Teknologi: Memudahkan, Sekaligus Menumpulkan
Kemajuan teknologi adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia mempercepat akses informasi. Di sisi lain, ia menciptakan budaya instan dan dangkal. Kita terbiasa dengan video 15 detik, teks 3 baris, dan informasi cepat saji. Kita jarang menghabiskan waktu membaca tuntas satu tulisan panjang, apalagi melakukan riset lanjutan.
Parahnya, konten dangkal seringkali viral, sementara konten yang edukatif terpinggirkan. Kita mulai kehilangan kesabaran untuk berpikir panjang dan lebih suka kesimpulan cepat yang memicu emosi, bukan logika.
Peran Keluarga dalam Menumbuhkan Literasi
Keluarga adalah unit terkecil pembentuk karakter bangsa. Tapi berapa banyak keluarga yang masih memiliki budaya diskusi di rumah? Berapa banyak orang tua yang membiasakan anaknya membaca buku ketimbang menonton konten YouTube?
Kita seringkali terlalu sibuk bekerja demi mencukupi kebutuhan ekonomi, tapi lupa memperkaya kebutuhan intelektual dan emosional anak. Padahal, membangun daya kritis anak tidak bisa dititipkan ke sekolah semata. Ia harus ditumbuhkan di rumah—melalui percakapan yang sehat, ruang bertanya yang terbuka, dan toleransi terhadap kesalahan.
Jalan Keluar: Bangkitkan Rasa Ingin Tahu
Kita tidak kekurangan orang pintar, tapi kita kekurangan orang yang mau berpikir. Literasi bukan hanya tentang membaca. Tapi bagaimana kita menyerap, menyaring, dan menyikapi informasi secara sadar. Kuncinya adalah membiasakan bertanya “Mengapa?”
Mengapa kita percaya suatu informasi?
Mengapa kita takut berbeda pendapat?
Mengapa kita mudah terbakar isu tanpa verifikasi?
Pertanyaan-pertanyaan ini akan melatih kita untuk tidak gampang ditipu, tidak mudah ditunggangi, dan tidak terus-menerus jadi korban dari peradaban digital yang rakus atensi.
Penutup: Kita Tidak Bodoh, Hanya Terlambat Sadar
Anggapan bahwa orang Indonesia itu bodoh sejatinya tidak benar. Tapi jika kita terus membiarkan budaya instan, takut salah, dan malas berpikir tumbuh subur, maka stigma itu bisa menjadi kenyataan.
Kini saatnya kita balik arah. Bangun budaya berpikir, bukan hanya berbicara. Dorong kebiasaan bertanya, bukan hanya menerima. Dan yang terpenting: mulai dari diri sendiri, dari rumah sendiri, dari anak-anak kita sendiri.
Karena bangsa besar tidak dibangun oleh kecerdasan instan, tapi oleh ketekunan dan kesadaran kolektif untuk terus belajar dan bertumbuh.
Ayi Koswara
CEO FLEXlive | Founder Balanced Path Academy