Porosmedia.com, Bandung – Foto seminar nasional bertajuk “Meneguhkan Pengamalan Pancasila dalam Tata Kelola Negara: Pamikiran Kabangsaan Jeung Kanagaraan Ki Sunda Keur Indonesia” yang digelar oleh Majelis Musyawarah Sunda bukan hanya sekadar pengumuman kegiatan akademik. Ia adalah simbol dari kegelisahan intelektual dan panggilan kebangsaan dari bumi Pasundan terhadap realitas kenegaraan hari ini yang kerap kali menjauh dari nilai-nilai dasar Pancasila.
Diselenggarakan pada 1 Juni 2025—hari lahir Pancasila—di Universitas Padjadjaran Bandung, forum ini menyatukan tokoh-tokoh penting: dari akademisi seperti Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia dan Yudi Latif, hingga legislator seperti Dr. H. Buky Wibawa dari DPRD Jabar. Kombinasi ini mencerminkan semangat integratif antara ilmu pengetahuan dan politik, antara nilai dan kebijakan.
Namun di balik itu semua, pesan yang lebih mendalam tampak dari desain dan narasi acara: bahwa Pancasila tidak bisa lagi hanya jadi slogan atau seremoni. Ia harus ditarik kembali ke pusat tata kelola negara, di saat justru negara terlihat makin menjauh dari substansi kelima sila itu. Korupsi merajalela, keadilan sosial mandek, dan birokrasi tak berpihak pada rakyat—sebuah ironi yang hanya bisa dipulihkan dengan kesadaran kolektif.
Uniknya, seminar ini juga mengusung konteks lokalitas Sunda. Kalimat “Pamikiran Kabangsaan jeung Kanagaraan Ki Sunda keur Indonesia” bukan sekadar romantisme identitas kultural, melainkan tawaran pemikiran lokal untuk menyumbang pada fondasi nasional. Bahwa kebudayaan lokal bukan penghalang, tapi justru penguat Pancasila bila diramu dengan nilai universal.
Simbol Garuda merah muda yang memegang tameng bercorak lokal adalah refleksi dari upaya menjembatani nasionalisme dan identitas etnik. Di saat banyak elite politik memanfaatkan identitas untuk polarisasi, forum ini justru menawarkan identitas sebagai ruang dialog dan kontribusi substantif.
Dari sisi penyelenggaraan, menunjukkan kesadaran terhadap era digital, membuka ruang bagi partisipasi publik yang lebih luas. Ini bukan seminar elitis, melainkan forum terbuka untuk rakyat yang masih percaya bahwa negeri ini bisa dibenahi lewat akal sehat dan semangat kebangsaan.
Singkatnya, seminar ini adalah suara nurani dari tanah Sunda—sebuah gugatan intelektual terhadap tata kelola negara yang cacat moral, sekaligus ajakan membumikan kembali Pancasila, bukan hanya di lisan dan teks, tapi di seluruh denyut nadi kebijakan publik.