Oleh Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI | Ketua MPR RI ke-15 | Ketua DPR RI ke-20 | Dosen Tetap Pascasarjana Ilmu Hukum
Porosmedia.com, Jakarta – Korupsi di Indonesia telah menjadi kejahatan sistemik dengan dampak luar biasa. Dalam satu dekade terakhir, ribuan kasus korupsi telah menelan kerugian negara yang diperkirakan mencapai ribuan triliun rupiah. Kasus Pertamina (Rp 193,7 triliun/tahun sejak 2018) dan skandal PT Timah (Rp 300 triliun) hanyalah dua dari sekian kasus besar yang memperlihatkan besarnya aset negara yang kini dikuasai koruptor.
Hukuman penjara terbukti tak memberi efek jera. Koruptor terus bermunculan. Maka, muncul gagasan perampasan aset hasil tindak pidana sebagai langkah konkret mengembalikan hak rakyat. Namun, implementasi gagasan ini memerlukan legitimasi hukum yang kuat agar tidak justru menjadi alat pemerasan baru oleh oknum aparat.
RUU Perampasan Aset memang telah masuk Prolegnas Prioritas 2023, namun pembahasannya tertahan. Salah satu penyebabnya adalah belum berlakunya KUHP baru—yang secara prinsipil jauh lebih progresif dibanding KUHP warisan kolonial yang sudah berumur lebih dari 44 tahun. KUHP baru memuat prinsip keadilan restoratif, rehabilitatif, dan restitusi, serta memberi perlindungan lebih terhadap warga negara, termasuk dari penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum.
Tanpa KUHP baru, celah penyalahgunaan kekuasaan tetap terbuka. Potensi abuse of power tidak dapat diabaikan. Kasus pemerasan Rp 6,3 miliar oleh 15 petugas Rutan KPK (2019–2023) adalah bukti bahwa bahkan di institusi antikorupsi pun terdapat penyimpangan. Jika perampasan aset dijalankan dalam sistem hukum yang belum diperbarui, sangat mungkin muncul tawar-menawar, manipulasi taksiran aset, hingga “diskon hukuman” oleh aparat nakal.
Pertanyaannya bukan lagi “perlu atau tidak” merampas aset koruptor. Jawabannya jelas: perlu. Namun, kepastian hukum, transparansi, dan mekanisme pengawasan ketat harus hadir lebih dulu. Tanpa itu, perampasan aset hanya menjadi kedok kejahatan baru yang merugikan negara untuk kedua kalinya.
Karenanya, pengesahan KUHP baru yang dijadwalkan berlaku pada 1 Januari 2026 menjadi syarat mutlak. Sebab hanya dengan fondasi hukum yang adil dan berintegritas, RUU Perampasan Aset bisa dibahas dan diterapkan secara bertanggung jawab—demi mengembalikan hak rakyat, bukan memperluas ruang gelap kekuasaan.