Porosmedia.com, Jakarta, 6 Juli 2025 – Anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo kembali tampil di layar lebar, kali ini dalam peran sebagai dokter dalam film produksi Bravo Romeo Production. Turut beradu akting dengan aktris asal Malaysia Anna Jobling dan sejumlah artis nasional, Bamsoet memanfaatkan momentum tersebut untuk menyerukan pentingnya menjadikan industri perfilman sebagai pilar strategis ekonomi kreatif nasional.
“Film bukan hanya karya seni, tetapi juga industri yang mampu menggerakkan ekonomi secara luas,” ujar Bamsoet dalam acara syukuran produksi film di Parle Senayan, Jakarta. Ia menyebut industri ini berperan penting dalam menciptakan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan UMKM, hingga memperkuat diplomasi budaya Indonesia di tingkat internasional.
Namun, kritik muncul dari kalangan pengamat dan komunitas film independen. Banyak yang mempertanyakan: sejauh mana keterlibatan elite politik dalam industri kreatif benar-benar memberi dampak kebijakan konkret? Ataukah sekadar menjadi bagian dari pencitraan dan seremonial politik menjelang tahun politik yang semakin dekat?
Bamsoet memang menyebut bahwa kontribusi perfilman terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ekonomi kreatif mencapai Rp 3,4 triliun pada 2024, angka yang cukup signifikan. Namun pertanyaannya, mengapa dengan kontribusi sebesar itu, pelaku industri film—khususnya di daerah—masih kesulitan dalam hal pendanaan, akses distribusi, dan perlindungan hak kekayaan intelektual?
Ekosistem perfilman Indonesia saat ini masih didominasi pusat, dengan distribusi film yang berat di Jawa dan perkotaan. Sementara itu, infrastruktur bioskop, dukungan dana, hingga jaringan komunitas kreatif di luar Jawa masih jauh tertinggal. Apakah peran legislator seperti Bamsoet juga turut aktif mendorong realokasi anggaran budaya dan regulasi yang inklusif di parlemen?
Dalam paparannya, Bamsoet juga menyinggung soal peluang distribusi melalui platform OTT seperti Netflix, Disney+, dan Amazon Prime. Ia menilai kehadiran platform digital membuka jalan bagi film Indonesia menjangkau pasar global. Namun realitanya, tidak banyak film Indonesia yang mendapat ruang kurasi dan distribusi di platform global tersebut—bukan karena kurang bagus, tapi karena absennya strategi kurasi nasional dan promosi budaya yang terorganisir.
Apakah ada upaya negara, misalnya melalui kerja sama lintas kementerian dan platform OTT, untuk menjadikan film Indonesia sebagai komoditas ekspor budaya? Atau kembali, harapan ini hanya tinggal seruan kosong dari panggung seremonial?
Bamsoet menutup pernyataannya dengan seruan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk tidak membiarkan dunia perfilman berjalan sendiri. Namun justru di sinilah ironi terjadi: selama ini, banyak kebijakan terkait film berjalan secara parsial dan sektoral. Dana perfilman yang tersalur melalui kementerian pun sering tak menyentuh komunitas akar rumput yang justru produktif dan inovatif.
Tanpa cetak biru nasional yang serius—mulai dari pendanaan, kurikulum pendidikan film yang mutakhir, hingga peta distribusi nasional—maka film Indonesia hanya akan besar di festival dan selebrasi, bukan dalam arus utama pembangunan.
Keikutsertaan tokoh politik dalam industri film tentu bukan masalah, sejauh tidak menggiring ruang seni menjadi panggung propaganda. Namun ketika suara dari atas panggung tidak sejalan dengan kerja-kerja konkret di lapangan, maka yang tersisa hanyalah naskah klise tentang nasionalisme dalam bingkai hiburan.
Perfilman Indonesia tidak hanya butuh pemain, tapi juga pemikir kebijakan.
Industri kreatif membutuhkan keberpihakan politik yang konsisten—bukan sekadar kehadiran di balik layar.