Ragam  

Longsor di Arjuna: Alarm Musim Hujan dan Tanggung Jawab yang Tak Bisa Ditunda

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Bencana longsor kembali terjadi di Kota Bandung. Jumat dini hari, 23 Mei 2025, pergeseran tanah melanda kawasan padat permukiman di Jalan Karang Tengah Barat, RT 04 RW 07, Kelurahan Arjuna, Kecamatan Cicendo. Dua rumah terdampak. Tidak ada korban jiwa, tapi kerusakan nyata. Ini bukan sekadar kejadian alam—ini peringatan yang tak bisa terus diabaikan.

Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, turun langsung ke lokasi. Ia menyampaikan apresiasi terhadap kesiapsiagaan warga dan aparat kelurahan. Namun, di balik ucapan terima kasih itu, publik menagih langkah lebih konkret dan sistematis.

“Kami sudah memerintahkan para lurah untuk memantau titik-titik rawan, terutama di sepanjang aliran sungai yang mengalami pengikisan,” ujar Erwin di lokasi kejadian.

Menurutnya, longsor terjadi akibat tergerusnya tanah oleh aliran sungai. Retakan telah muncul sejak beberapa hari sebelumnya, dan warga sudah diminta untuk sementara mengungsi. Tindakan cepat itu yang berhasil menyelamatkan nyawa.

Namun, pertanyaannya: apakah pemantauan wilayah rawan cukup hanya dengan imbauan? Di kota besar yang terus tumbuh seperti Bandung, mitigasi bencana tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada aparat kewilayahan dan gotong royong warga.

Baca juga:  Peran OPD dan Pentaheliks, Jadi Kunci Dasar Raih Label KLA

RT setempat, Andi, membenarkan bahwa keretakan tanah sudah terlihat sejak tiga hari lalu. “Kami dari kewilayahan mengimbau warga untuk sementara pindah. Alhamdulillah, mereka ditampung oleh tetangga,” katanya. Ini bukti bahwa solidaritas warga masih menjadi benteng pertama bencana—ketika negara belum sepenuhnya hadir.

Erwin menjanjikan penanganan segera: pengecekan struktur tanah, rencana pembangunan ulang, dan koordinasi dengan wilayah. Tapi publik butuh lebih dari respons sesaat. Yang dibutuhkan adalah peta mitigasi yang transparan, sistem peringatan dini yang fungsional, dan infrastruktur antisipatif yang tak menunggu musibah.

Karena longsor bukan hanya kisah musiman. Ia adalah ujian terhadap sejauh mana pemerintah kota benar-benar memahami makna kehadiran: tidak hanya dalam seremonial pascabencana, tetapi dalam kerja-kerja teknokratis yang bisa mencegah korban di kemudian hari.

——–
Pemkot Bandung wajib berbenah. Memantau titik rawan tak cukup dengan imbauan—harus ada aksi nyata, anggaran memadai, dan prioritas kebijakan yang berpihak pada keselamatan warga. Karena setiap retakan tanah adalah peringatan, dan setiap longsor yang dibiarkan adalah kegagalan kolektif.