Porosmedia.com, Bandung – Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, suasana Gedung Negara di Kompleks Pemkab Purwakarta terasa lebih khidmat dari biasanya. Pada Rabu (31/7/2025), Bupati Purwakarta, Saepul Bahri Binzein—akrab disapa Om Zein—menerima sebilah kujang dari Keluarga Kewargian Abah Alam.
Bagi masyarakat Sunda, kujang bukanlah sekadar artefak. Ia adalah simbol kepemimpinan, integritas, serta keterikatan batin pada tanah kelahiran. Prosesi penyerahan kujang ini pun sarat pesan: ajakan menjaga keseimbangan antara kekuasaan, budaya, dan spiritualitas.

Makna Filosofis di Balik Pusaka
Tokoh budaya Sunda, Abah Alam (Adhitya Alamsyah), menegaskan bahwa penyerahan kujang kepada pemimpin daerah lahir dari kereteg hate—dorongan hati yang murni—tanpa muatan politik.
“Kujang ini bukan hanya simbol, tapi pengingat bahwa memimpin berarti menjaga budaya dan harmoni dengan rakyat,” ujarnya, Sabtu 02 Agustus 2025 di kediaman Abah Alam, Sukajadi, Bandung, di sela menerima wartawan Jurnalis Bela Negara.
Abah Alam dikenal luas sebagai penggerak pelestarian budaya Sunda. Dari pagelaran tari Jaipongan dan Longser hingga agenda adat dalam forum internasional masyarakat adat, kiprahnya menjembatani tradisi dan dunia modern.
Spirit Siliwangi untuk Kepemimpinan Daerah
Dalam prosesi tersebut hadir pula Ramlan Samsuri atau Kakang Prabu dari KGPP, yang mendampingi Abah Alam. Ia menegaskan bahwa kujang adalah simbol untuk menghidupkan spirit Siliwangi dalam kepemimpinan Purwakarta.
“Kujang seperti Ibu Pertiwi, mengingatkan pemimpin untuk menjaga alam, mencintai rakyat, dan berbakti pada tanah kelahiran,” ujar Kakang Prabu.
Ia berharap kepemimpinan Om Zein akan membawa Purwakarta menuju baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur—negeri yang baik dan dirahmati Tuhan.
Pedoman Moral Bagi Pemimpin
Bagi para sesepuh budaya, kujang adalah pedoman moral sekaligus kompas spiritual bagi pemimpin.
“Kujang kukuh kana janji, janji ngabela lemah cai jeung rahayatna, ku silih asuh, silih asih, silih asah, jeung welas asih Siliwangi,” tutur Kakang Prabu.
Pesan itu jelas: kujang adalah pengingat agar kepemimpinan dijalankan dengan kearifan, keteguhan, dan tanggung jawab moral.
Prosesi yang Disaksikan Pejabat Daerah
Penyerahan kujang disaksikan oleh Dandim 0619/Purwakarta, Letkol Inf Ardha Cairova Pari Putra, dan Sekda Purwakarta, Norman Nugraha.
Prosesi berlangsung sederhana namun penuh makna, meneguhkan komitmen bersama untuk merawat identitas daerah melalui nilai-nilai budaya.
Bandung Perkuat Identitas Budaya
Sementara itu, langkah Purwakarta sejalan dengan upaya Kota Bandung memperkuat identitas budaya.
Melalui Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pemajuan Kebudayaan, Bandung berkomitmen melestarikan tradisi dan menjadikan budaya Sunda sebagai landasan pembangunan.
Kawargian Abah Alam berperan aktif dalam sosialisasi perda tersebut. Filosofi kujang menjadi salah satu materi utama, menegaskan posisinya sebagai bagian dari identitas dan kebanggaan masyarakat Sunda.
Kujang dalam Filosofi dan Hukum
Aris Kurniawan, M.Sn., menyebut kujang sebagai “penanda jati diri Urang Sunda” yang memuat nilai estetika, etika, dan kosmologi.
Mayjend TNI (Purn) Iwan Sulandjana, tokoh masyarakat Sunda sekaligus mantan Pangdam III/Siliwangi, menyebutnya sebagai “Prinsip Rakyat Jawa Barat”—simbol kesatria, keadilan, dan persatuan.
Secara hukum, kedudukan kujang juga diakui. Dalam perkara No. 259/Pid.B/2011/PN.SBG, Pengadilan Negeri Subang menegaskan bahwa Pasal 2 Ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tidak berlaku untuk kujang, menempatkannya sebagai artefak budaya, bukan senjata tajam.
Kontroversi Klasifikasi dalam Pameran
Isu klasifikasi kujang kembali mengemuka seiring rencana Pameran Senjata Tradisional Nusantara di Museum Sri Baduga Bandung (29 Juli–31 Oktober 2025). Dalam pameran tersebut, kujang dicantumkan sebagai “Senjata Khas Jawa Barat”.
DPD PAKSI Kota Bandung menilai klasifikasi ini keliru. “Kujang bukan senjata. Ia adalah pusaka adat Sunda yang sakral,” tegas Kamaludin, S.H., kuasa hukum PAKSI.
Kamaludin merujuk putusan PN Subang yang menegaskan status kujang sebagai artefak budaya, bukan senjata kriminal.
Sejarah Kujang Kembar di Brigif
Kisah lain datang dari Kang Seno, prajurit Brigif, yang mengenang pembangunan tugu Kujang Kembar berukuran 10 meter. Ide tersebut lahir atas perintah komandan satuan kala itu.
Setelah bersilaturahmi dengan Abah Alam, Kang Seno bersama prajurit Brigif mematangkan rencana hingga tugu kujang berdiri megah.
Momen penerimaan simbolis kujang kencana di baret prajurit menjadi kebanggaan tersendiri—meski diwarnai pengorbanan, termasuk cedera yang dialami Kang Seno—demi menjaga pusaka warisan leluhur.
Tradisi, Kepemimpinan, dan Masa Depan
Prosesi di Purwakarta, langkah strategis Bandung, dan cerita-cerita di balik kujang menunjukkan bahwa pelestarian budaya tidak dapat dipisahkan dari kepemimpinan dan identitas daerah.
“Warisan budaya bukan hanya untuk dikenang, tetapi dihidupkan dalam keseharian,” pesan Abah Alam.
Dari Purwakarta hingga Bandung, kujang kembali menjadi pengingat bahwa kepemimpinan yang berakar pada budaya memiliki fondasi moral yang kuat untuk menatap masa depan.
https://youtu.be/_P-NLVml3q0?si=_F60BtlivQa2AWKI