Kota Ramah Anak: Komitmen Seremonial atau Transformasi Nyata?

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung –  Tantangan ketimpangan sosial dan keterbatasan akses bagi kelompok rentan, Pemerintah Kota Bandung menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Save the Children Indonesia untuk mewujudkan Bandung sebagai Kota Ramah Anak dan Inklusif. Penandatanganan ini berlangsung dalam perhelatan bertajuk “Dream Festival 2025” di Plaza Balai Kota Bandung, Minggu (29/6/2025), bertepatan dengan peringatan Hari Keluarga Nasional dan Hari Anak Nasional.

Namun pertanyaannya: apakah langkah ini akan menjadi komitmen berkelanjutan atau hanya sebatas seremoni tahunan yang kehilangan nyawa di balik panggung?

Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, menyatakan bahwa MoU ini adalah langkah awal untuk menyusun roadmap menuju kota ramah anak. Namun, frasa “langkah awal” kembali mencuat di tengah deretan program yang sebelumnya juga disebut sebagai “awal dari perubahan” namun tak berlanjut secara struktural.

“Ini bukan pekerjaan mudah, tapi jadi tantangan yang harus kita jawab bersama,” ujar Farhan.

Pernyataan itu memang realistis, tapi menjadi pengulangan dari janji lama. Sejak 2015, wacana Kota Ramah Anak telah digaungkan di Bandung. Sayangnya, banyak pihak menilai bahwa implementasinya masih belum menyentuh akar persoalan—mulai dari infrastruktur yang tidak ramah difabel, minimnya tenaga pendidik inklusif, hingga abainya sistem transportasi publik terhadap kelompok rentan.

Baca juga:  Persis Minta Kepolisian dan Kominfo Selidiki Akun Youtube 'Sunnah Nabi'

Farhan menyebut adanya proyek percobaan trotoar ramah disabilitas sepanjang 800 meter di kawasan pusat kota. Namun, dengan panjang total jaringan jalan di Bandung yang mencapai ribuan kilometer, eksperimen 800 meter ini dinilai masih jauh dari cukup. Apalagi proyek itu hanya mencakup jalan-jalan utama seperti Belitung, Sumatera, Aceh, dan Kalimantan—wilayah dengan aktivitas ekonomi tinggi, bukan kawasan padat penduduk dengan mobilitas komunitas rentan yang sesungguhnya membutuhkan fasilitas tersebut.

“Percobaan ini patut diapresiasi, tapi juga harus ditantang: mengapa masih percobaan? Kenapa tidak langsung menjadi kebijakan kota?” kritik seorang aktivis difabel yang enggan disebut namanya.

Farhan mengakui bahwa seluruh sekolah negeri di Bandung diwajibkan menjadi sekolah inklusif, namun juga menyatakan bahwa tenaga pengajarnya belum siap. Pemkot Bandung menggandeng UPI untuk menyiapkan pendidik yang memahami kebutuhan anak berkebutuhan khusus.

Namun, pendekatan ini menyisakan pertanyaan: mengapa regulasi lebih dulu ditetapkan sebelum kesiapan teknis tersedia? Bukankah kebijakan tanpa dukungan struktur akan menghasilkan beban administratif bagi sekolah, bukan solusi nyata?

Baca juga:  Taman Futsal Ciujung: Ambisi Revitalisasi Pemkot Bandung yang Terlambat Terwujud

Lebih lanjut, hanya sebagian kecil sekolah yang akan menjadi model inklusif, sementara mayoritas lainnya belum disentuh penguatan kapasitas. Celah ini berpotensi melanggengkan eksklusi terselubung, di mana anak-anak difabel tetap tersingkir secara sistemik karena ketiadaan fasilitas dan SDM.

Dream Festival 2025 memang menghadirkan berbagai layanan progresif: dari cetak akta kelahiran braille, konseling psikologis, hingga pelatihan bahasa isyarat. Festival ini juga menggabungkan anak-anak dengan dan tanpa disabilitas dalam satu ruang kegiatan bersama.

Namun, festival hanya berlangsung sehari. Yang dibutuhkan anak-anak difabel bukan semata panggung partisipasi sesaat, melainkan sistem perlindungan jangka panjang yang hadir dalam bentuk kebijakan, anggaran, dan pengawasan yang terukur.

Data dari BPS tahun 2023 mencatat terdapat lebih dari 8.900 penyandang disabilitas di Kota Bandung. Namun hingga kini, belum ada laporan tahunan publik yang secara transparan menyampaikan capaian, tantangan, dan alokasi anggaran untuk kebijakan inklusi.

Asisten Administrasi Umum Kota Bandung, Tono Rusdiantono, menyebut bahwa stigma sosial menjadi penghalang utama bagi tumbuh kembang anak-anak penyandang disabilitas. Ini benar, namun tantangan terbesar justru terletak pada political will dan keberanian pemerintah untuk mengintervensi akar persoalan.

Baca juga:  Akses Sempat Didera Longsor, Pelayanan Kelurahan Jatihandap Tetap Berjalan Normal

Kolaborasi lintas sektor sangat diperlukan, tetapi tanpa kontrol publik yang kuat dan partisipasi komunitas difabel sebagai subjek, bukan objek, maka inklusivitas akan tetap menjadi jargon yang diproduksi secara musiman.

Komitmen Wali Kota Farhan dan kolaborasi bersama Save the Children patut dihargai. Tetapi publik punya hak untuk menagih lebih: peta jalan yang jelas, anggaran yang memadai, dan pelibatan aktif komunitas difabel dalam proses kebijakan.

Bandung tidak bisa hanya menjadi kota yang ramah anak pada momen festival. Ia harus menjadi kota yang mendengarkan anak-anak setiap hari—lewat desain kotanya, pendidikannya, transportasinya, dan cara pemerintahannya mengatur kehidupan warganya yang paling rentan.