Porosmedia.com, Bandung – Pemerintah Kota Bandung kembali menyuarakan komitmen dalam penanggulangan HIV/AIDS. Namun, pertanyaannya: apakah komitmen ini cukup menjawab kondisi darurat yang terus berlangsung sejak tiga dekade terakhir?
Dalam audiensi dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung di Balai Kota, Selasa (20/5/2025), Wali Kota Bandung Farhan menyampaikan bahwa Pemkot tidak hanya bertindak sebagai fasilitator, tetapi juga sebagai pengarah kebijakan dan penggerak sinergi lintas sektor. Klaim tersebut patut diapresiasi, namun tidak bisa dilepaskan dari kewajiban untuk mengoreksi capaian yang belum menyentuh akar persoalan.
Data yang disampaikan KPA menunjukkan bahwa sejak 1991 hingga Januari 2025, terdapat 9.784 kasus HIV positif di Kota Bandung—setara 90 persen dari estimasi nasional untuk kota ini, yakni 10.931 kasus. Namun, lebih dari 3.000 ODHIV (Orang dengan HIV) masuk dalam kategori Lost to Follow Up (LFU), atau hilang dari proses pengobatan. Ini bukan angka kecil, melainkan pertanda lemahnya sistem pendampingan, pelacakan, dan perlindungan sosial terhadap penyintas HIV/AIDS.
Dari 6.370 ODHIV yang rutin menjalani terapi antiretroviral (ARV), hanya 57 persen atau sekitar 3.631 orang yang berhasil menekan jumlah virus hingga tidak terdeteksi. Artinya, hampir separuh pasien aktif masih berisiko menularkan HIV. Fakta ini seharusnya menjadi alarm keras, bukan sekadar bahan presentasi audiensi.
Yang juga patut dikritisi adalah arah kebijakan edukasi yang masih terfragmentasi dan minim penetrasi ke kelompok paling rentan: remaja, pekerja seks, pengguna narkoba suntik, hingga komunitas LGBTQ+. Usulan KPA untuk menggandeng Karang Taruna dan remaja masjid adalah langkah baik, tapi jika tidak diikuti oleh pendekatan berbasis hak asasi manusia dan penghilangan stigma, maka hasilnya tetap akan mentok pada permukaan.
Di sisi lain, program Warga Peduli AIDS (WPA) yang pernah digadang-gadang sebagai garda terdepan justru minim pembaruan dan tak terdengar geliatnya. Ketiadaan dana operasional yang layak dan koordinasi lintas OPD yang lemah membuat banyak WPA jalan di tempat.
Wali Kota Bandung memang telah menginstruksikan jajaran terkait untuk menindaklanjuti audiensi ini. Namun publik berhak bertanya: sampai kapan penanggulangan HIV/AIDS hanya dikemas dalam bentuk “komitmen seremonial”? Dibutuhkan transparansi anggaran, keberanian politik, serta konsistensi dalam kebijakan yang menyentuh lapisan terbawah masyarakat—bukan hanya menghadiri forum-forum simbolik.
Kota Bandung tidak kekurangan sumber daya, tetapi terlalu lama berkompromi dengan sistem birokrasi yang lamban, serta strategi kesehatan publik yang tidak cukup progresif. Sudah waktunya Pemkot Bandung membuktikan bahwa mereka bukan sekadar “hadir”, tapi benar-benar bertindak.