Esai Satire oleh Harri Safiari
Porosmedia.com, Bandung – Kota yang konon diciptakan Tuhan saat sedang tersenyum, tampaknya kini membuat malaikat langit mengernyit. Pasalnya, setiap kali warganya menanam harapan di taman kota, selalu tumbuh bibit baru bernama “dugaan korupsi”.
Setelah Walikota Yana Mulyana sempat “disapa” KPK lewat proyek Bandung Smart City, dan Sekda Ema Sumarna ikut menari di ritme serupa lewat Bandung Poek, kini giliran Wakil Wali Kota H. Erwin tiba-tiba nongol di Kejaksaan Negeri.
Katanya, “hanya saksi.” Tapi di Negeri Nir Cermin, saksi kerap jadi bayangan dari yang nyaris tertangkap. Bandung memang kota yang kreatif, tapi rupanya juga kreatif dalam menciptakan pola berulang: proyek, suap, klarifikasi, dan konferensi pers dengan wajah teduh nan letih.
Saking seringnya, publik mungkin sudah bisa menebak urutan dialognya. “Bukan OTT, hanya pemeriksaan biasa,” kata aparat. “Alhamdulillah, saya kooperatif,” jawab pejabat. Dan sisanya — tinggal doa publik yang menggantung di langit Braga: semoga bukan Bandung
Smart Prison kelanjutannya. Dari CCTV ke CCT-View
Kasus Yana Mulyana dulu sempat jadi tontonan nasional. Ironis, karena yang dikorupsi justru alat pengawas: CCTV dan jaringan internet kota.
Di kota dengan tagline Bandung
Juara, rupanya yang juara justru kamera pengintai yang disuap agar tak merekam dosa. Yana dijatuhi hukuman 4 tahun, tapi kota tetap berjalan seperti biasa — seolah korupsi
hanyalah salah satu lomba kreativitas tahunan.
Sekda Ema Sumarna pun tak mau kalah tampil. Ia divonis 5 tahun 6 bulan, setelah pengadilan menilai ada gratifikasi hingga ratusan juta dan suap politik di balik anggaran Dishub. Judul kasarnya: “Anggaran Perubahan, Integritas yang Turunan.” Dan yang paling kocak-getir, nama proyeknya:
Bandung Poek — “Bandung Gelap”. Ternyata bukan cuma penerangan jalannya yang redup, tapi juga nuraninya.
Kini, Wakil Wali Kota H. Erwin diperiksa. Belum tentu bersalah, tentu — hukum harus adil. Tapi publik Bandung sudah keburu letih dengan pola “saksi dulu, tersangka kemudian”. Rasanya seperti menonton sinetron rerun dengan pemain baru tapi naskah lama. CCTV mungkin telah rusak, tapi CCT-View — Corruption Continuity Television — terus menyiarkan siaran ulang yang sama: episode “Integritas Layu Sebelum Mekar.”
Pola Lama, Bunga Baru
Bandung tak sendirian. Banyak kota di Indonesia menampilkan gejala yang sama: pejabat kreatif, proyek strategis, lalu aroma manis dana hibah dan tender. Bedanya, di Bandung
semuanya dibungkus dalam estetika “smart city”. Namun, seperti bunga plastik, indah di brosur tapi tak berbau wangi kejujuran.
Ada tiga pola klasik yang terus mekar di balik pagar Balai Kota: 1. Proyek besar, pengawasan kecil. Semakin gemuk anggaran, semakin kabur pelaporan. 2. Dekatnya eksekutif–legislatif–swasta.
Dari ruang rapat hingga meja
makan, keputusan anggaran kerap lahir bukan dari kebijakan, melainkan dari “kecocokan (everybody happy!)” 3. Normalisasi dosa. Ketika korupsi sudah dianggap “resiko jabatan”, maka jujur jadi kelakuan eksentrik dan aneh.
Maka, begitulah, Bandung yang dulu dikenal karena mojang geulis dan
kreativitasnya, kini jadi panggung satir politik — tempat integritas berpose sebentar sebelum gugur di tangan sistem yang mencium aroma uang lebih dulu daripada aroma bunga melati.
Ketika Rakyat Sudah Tidak Kaget
Yang paling tragis bukanlah pejabat korup, tapi rakyat yang sudah tak kaget lagi. Ketika nama baru muncul di berita, publik hanya mengangkat alis dan meneguk kopi. “Ah, biasa,” katanya.
Padahal kebiasaan itulah yang sedang merobohkan fondasi moral kota. Di titik
ini, Bandung bukan lagi kota kembang, tapi taman bunga plastik — penuh warna, tapi tak lagi hidup.
Cermin Retak, Negeri Gelap
Bandung hari ini ibarat cermin retak di ruang publik. Setiap pejabat yang lewat melihat wajahnya sendiri, tapi potongannya tidak utuh. Cermin itu dulu disebut “akuntabilitas”, tapi
kini disulap menjadi “klarifikasi”. Dan selama rakyat masih memaafkan dengan cepat, para penguasa akan terus berlatih berdusta dengan lebih sopan. Korupsi di Kota Kembang bukan sekadar kejahatan administratif — ia sudah menjadi kebiasaan estetis: dirangkai rapi, disemprot parfum moral, dan dijual dengan harga jabatan. Maka benar kata pepatah lama: “Di negeri yang kehilangan cermin, dosa pun bisa tampil menawan.”
Catatan Melipir Korupsinikus:
“Integritas di Bandung mekar tiap musim kampanye, dan layu tiap musim tender.” (Selesai).


 
							





