Konstelasi Geopolitik Asia-Pasifik Pasca Pemilu Amerika November 2024

Jajat Sudrajat

Porosmedia.com — Jika Trump menang, Asia Pasifik bisa jadi Area Pasar ekspor senjata AS untuk menutup defisit perdagangannya dengan negara-negara Asia.

Papua saat ini sasaran choke point dua kubu, Amerika Serikat versus Republik Rakyat China.

Hal tersebut memang belum terjadi ,namun sedang dalam proses diupayakan oleh kedua adikuasa tersebut.

Dalam perspektif geopolitik Australia yang merupakan deputy sharif Amerika di Asia Pasifik, Vanuatu sudah menjadi titik rawan mengingat pengaruh Cina yang semakin menguat dalam ekonomi dan perdagangan di Pasifik.

Dalam kekhawatiran AS maupun Australia sebagai sekutu strategisnya di Pasifik, ketika Pelabuhan Loginville berhasil dikuasai China,  maka selain AS China pun dapat mengakses pengamanan maritim.

Sehingga otomatis Papua Nugini  yang berbatasan secara langsung dengan Papua Barat di Indonesia, bisa gatal-gatal. Yang mana pada gilirannya
Papua Barat pun mengalami demam tinggi.

Dalam konstelasi global saat ini, perlu telaah strategis dampak hasil Pemilihan Presiden Amerika November 2024 mendatang.

Situasi tak terduga harus diantisipasi jika Donald Trump yang menang.
Sebagai pengusaha Trump menyadari betul negaranya saat ini banyak mengalami defisit perdagangan dengan negara-negara di Asia, alias mengalami defisit perdagangan bukan saja terhadap China dan Jepang.

Bahkan dengan beberapa negara ASEAN seperti Vietnam dan Malaysia.
Artinya, nilai impor AS lebih besar daripada nilai ekspornya. Yang dibeli lebih besar daripada yang dijualnya
Alhasil, untuk mengompensasi neraca perdagangannya Trump besar kemungkinan akan meneruskan program lamanya: mencanangkan untuk menggalakkan ekspor senjata ke negara-negara yang selama ini AS tekor alias mengalami defisit perdagangan.

Baca juga:  Desa Cibiruwetan di Datangi Personil (KPK)

Di sinilah para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI harus mampu merespons perkembangan global yang tak terduga Pasca-Pemilihan Presiden AS November mendatang.

Bahwa seperti halnya pada era Trump 2017-2019, AS akan menciptakan suatu kondisi kritis dan penuh pergolakan sebagai market areas atau daerah pasar bagi ekspor senjata AS.

Dengan demikian, tema yang akan digulirkan bukan lagi kampanye pasar bebas dan free trade area. Melainkan mengembangkan konsepnya Obama yaitu POROS KEAMANAN ASIA secara lebih ekstrem.

Bukan saja mengirim 60 persen kapal perangnya ke Laut China Selatan. Melainkan secara lebih skematik, mengawinkan STRATEGI INDOPASIFIK AS sebagai forum kerja sama multilateral berbasis ekonomi dan perdagangan, dan US PACIFIC COMMAND sebagai persekutuan pertahanan dan militer di Asia Pasifik, dengan terbentuknya persekutuan militer empat negara AS, Australia, Jepang dan India.

Saat inipun di era kepresidenan Joe Biden, Strategi Indo-Pasifik AS yang dirilis Trump sejak 2017 masih tetap dipertahankan. Dengan kata lain, kalau Joe Biden saja tetap mempertahankan skema kolaborasi pendekatan ekonomi-perdagangan-pasar bebas dan persekutuan militer dalam skema Strategi Indo-Pasifik AS, apalagi Donald Trump yang memang merupakan pemrakarsa Strategi Indo-Pasifik AS.

Kita hingga kini memang belum secara terang-terangan diajak bergabung dalam forum Indopasifik maupun persekutuan ala SEATO seperti QUAD, dan hal itu sebenarnya sudah tepat.

Kedua negara adikuasa tersebut menyadari arus besar di negeri kita masih berpedoman pada Politik Luar Negri Bebas-Aktif.

Melalui kerangka analisis tadi, ada beberapa lokasi geografis kita titik-rawan. Biak di Papua maupun Morotai di Maluku utara dan juga Bitung di Sulawesi Utara, bakal menjadi titik rawan ketika terjadi pergeseran pendekatan dari  ekonomi ke militarisasi dalam kebijakan luar negeri ketika Trump jika November nanti berhasil mengalahkan pesaingnya dari Demokrat, kamala Haris.

Baca juga:  Australia dan Indonesia memiliki Komitmen Mewujudkan Kawasan yang Damai

Dengan begitu kawasan inipun bakal berubah jadi medan konflik bersenjata. Sebab China pastinya akan melakukan manuver militer juga sebagai respons terhadap manuver AS dan NATO yang kian agresif di Asia Pasifik.

Bukan sekadar manuver ekonomi bisnis yang mana China sekarang sebenarnya  sedang di atas angin.

Sekadar informasi…..!!!
Dalam memodernisasikan kekuatan angkatan bersenjatanya, termasuk di bidang peralatan militernya, pada 2013 saja China telah mengucurkan dana yang cukup besar untuk memperkuat armada kapal selamnya.

Bukan itu saja….!!!
China setidaknya memiliki 9 kapal selam bertenaga nuklir. Dengan demikian, nampak jelas China telah memperkuat persenjataan strategisnya untuk pengamanan maritime-nya.

China juga mengembangkan kapal selam kelas Jin yang memiliki  kemampuan meluncurkan rudal balistik berdaya jangkau 7,400 kilomater.

Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika banyak pengamat mengatakan bahwa Grand Strategi Indo-Pasifik yang digagas secara bersama antara AS, Australia, Jepang dan India, sejatinya merupakan model kerjasama regional yang digunakan bukan saja untuk menata ulang,

melainkan juga untuk mengacak-acak kembali tatanan regional di Asia Tenggara, sehinga membawa implikasi tumbuhnya benih-benih perpecahan internal di antara negara-negara ASEAN.

Bahkan pada perkembangannya juga memecah-belah kekompakan di antara 24 negara yang tergabung dalam forum kerjasama ekonomi Asia-Pasifik (APEC).

Dengan potensi konflik yang semakin memanas seturut pergeseran dari pendekatan ekonomi-perdagangan ala Demokrat ke militerisasi kebijakan luar negeri ala Trump, maka selain ketiga titik rawan wilayah kita tadi  bakal menjadi sasaran perebutan pengaruh dan bukan tidak mungkin juga sebagai areas of war.

Baca juga:  6 Manfaat Kacang Kenari Bagi Kesehatan

Namun seiring dengan itu juga berpotensi bakal membahayakan perdamaian dan stabilitas kawasan di Asia, utamanya Asia Tenggara.

Sehingga zona damai, bebas dan netral seperti dicanangkan ASEAN benar benar sedang dalam bahaya.

Apalagi Laut China Selatan, yang merupakan bagian dari wilayah Lautan Pasifik Tengah, nampaknya juga merupakan titik-rawan ketegangan antara AS vs China sejak beberapa tahun terakhir.

Laut China Selatan yang masih dalam Wilayah Indo-Pasifik Tengah, merupakan wilayah yang menghubungkan Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik melalui berbagai laut dan selat.

Perairan Laut Indonesia sebagian besar termasuk ke dalam wilayah Indo-Pasifik Tengah. Perairan yang juga termasuk wilayah Indo-Pasifik Tengah adalah Laut China Selatan, Laut Filipina, pantai utara Australia, dan laut di sekitar Nugini.

Juga beberapa negara yang masuk lingkup Pasifik Selatan seperti Mikrosia, Kaledonia Baru, Kepulauan Salomon, Vanuatu, Fiji dan Tonga.

Oleh sebab itulah Pelabuhan Loginville menjadi titik-rawan dalam perspektif geopolitik AS, Australia maupun sekutu-sekutu strategisnya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Maka itu, kebijakan luar negri RI terlalu penting untuk ditangani semata-mata oleh para birokrat kementerian luar negeri kita. Yang umumnya masih memandang krisis global saat ini seolah-olah masih sebagai business as usual. (Roim)