Kisruh di Perumda Pasar Juara: Ketika Hak Buruh Diabaikan dan Jabatan Jadi Komoditas

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Di balik geliat aktivitas pasar rakyat Kota Bandung yang menjadi denyut ekonomi warga kecil, tersimpan kisah buram tentang nasib para pekerja yang menjadi korban kebijakan internal penuh keganjilan. Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Juara kini tengah bergolak, menyusul surat terbuka Serikat Buruh Nasionalis Indonesia (SBNI) Kota Bandung kepada Wali Kota Muhammad Farhan.

Surat bernomor 3273.07/SPm/DPC Kota BDG/SBNI/VI/2025 yang dikirimkan pada 25 Juni 2025, tidak sekadar menyampaikan keluhan normatif. Ia memuat tudingan serius: praktik kolusi dalam rekrutmen karyawan, diskriminasi struktural, hingga dugaan pengabaian sistematis terhadap hak-hak dasar buruh.

“Penerimaan karyawan tidak sesuai dengan rencana BUMD, dan tidak diketahui oleh Kuasa Pemilik Modal (KPM),” tulis Ketua SBNI Kota Bandung, Yadi Suryadi, bersama Sekretarisnya Yayan Mulyanto. Pernyataan tersebut bukan sekadar gugatan administratif, tetapi tuduhan adanya struktur bayangan yang menggerogoti institusi publik dari dalam.

Sumber internal yang enggan disebutkan namanya mengonfirmasi bahwa sebagian posisi strategis dalam Perumda diisi tanpa proses seleksi terbuka. “Beberapa jabatan muncul tiba-tiba, tidak ada SK jelas, tapi gaji dan kewenangannya nyata,” ungkapnya. Fenomena ini mengindikasikan adanya pola “jabatan siluman”, yang disusupi oleh kepentingan di luar prosedur legal kelembagaan.

Baca juga:  Keledai Politik Kerap Mengulang Kesalahan Yang Sama

Akibatnya? Ketimpangan etos kerja mencuat. Pegawai lama merasa dianaktirikan, sementara pegawai baru—yang rekrutmennya diduga kental unsur kedekatan personal—mendapat keistimewaan. Disparitas ini membunuh profesionalisme, memicu disorientasi kelembagaan, dan menciptakan ketegangan laten di tubuh Perumda.

Hak Buruh yang Dilanggar

Lebih dari sekadar rekrutmen ugal-ugalan, SBNI juga menyoroti pelanggaran atas hak normatif tenaga kerja:

Status dan golongan kerja yang tidak jelas.

Upah di bawah standar dan dibayarkan tidak penuh.

Hilangnya hak atas tunjangan seperti gaji ke-13 dan program BPJS Kesehatan serta Ketenagakerjaan.

Dugaan pemotongan sepihak terhadap cicilan BJB tanpa penjelasan.

Padahal, berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap pengusaha—termasuk BUMD—wajib membayar upah tepat waktu dan penuh. Bahkan Pasal 93 mewajibkan denda 5% per bulan terhadap upah yang tidak dibayar setelah 7 hari jatuh tempo. Ini bukan sekadar wanprestasi administratif, tapi pelanggaran hukum.

Sanksi atas pelanggaran ini bahkan dapat mencapai pidana kurungan dan denda, sebagaimana diatur dalam Pasal 185 UU Ketenagakerjaan.

Reformasi atau Reproduksi Masalah?

Baca juga:  MTQH ke-39 Resmi Dibuka, KDM Tekankan Nilai Spiritualitas di Atas Gelar Juara

SBNI tidak tinggal diam. Mereka menuntut empat langkah konkret dari Wali Kota Muhammad Farhan sebagai KPM:

1. Evaluasi total terhadap rekrutmen karyawan bermasalah.

2. Audit menyeluruh terhadap tata kelola Perumda Pasar Juara oleh Inspektorat Kota Bandung.

3. Bila Inspektorat tidak independen, tunjuk auditor eksternal.

4. Pembenahan penempatan jabatan agar tidak disusupi kepentingan pribadi.

Namun, tantangan terbesar bukan pada teknis pengawasan, melainkan pada kemauan politik. Sejauh ini, Pemerintah Kota Bandung di bawah Farhan belum mengeluarkan pernyataan resmi. Padahal, konflik ini telah menyentuh ranah krisis kepercayaan publik terhadap BUMD.

Dari sisi hukum, karyawan memiliki jalur jelas melalui UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI). Melalui proses bipartit, mediasi, hingga gugatan, buruh bisa menuntut hak gaji, denda, hingga pemenuhan jaminan sosial.

Langkah ini sudah ditempuh oleh berbagai serikat di kasus BUMD lain di Indonesia, dan sering kali dimenangkan di pengadilan. Tapi seperti banyak kasus, tantangan bukan di ruang sidang—melainkan di eksekusi putusan yang sering diabaikan dengan alasan klasik: “kondisi keuangan perusahaan.”

Baca juga:  Masyarakat Penutur Bahasa Sunda Meminta Arteria Di PAW-kan Saja

Apa yang terjadi di Perumda Pasar Juara bukan insiden administratif semata, melainkan refleksi dari rusaknya sistem pengelolaan BUMD secara struktural. Ketika BUMD dijadikan ruang parkir kekuasaan dan kompensasi politik, maka nilai-nilai profesionalisme mati pelan-pelan.

Pasar sebagai ruang ekonomi rakyat berubah fungsi jadi “komoditas politik”. Dalam ruang seperti ini, buruh menjadi korban pertama, disusul pedagang kecil, dan pada akhirnya rakyat banyak.

Wali Kota Farhan kini dihadapkan pada ujian integritas. Ia bisa memilih untuk menjadi reformis yang mengembalikan marwah BUMD sebagai milik rakyat, atau membiarkan sistem berjalan seperti biasa, dan menjadi bagian dari siklus kegagalan lama yang terus berulang.