Ketika Gubernur Bicara Tanpa Media: Disrupsi Demokrasi atau Realitas Baru Komunikasi Publik?

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Pernyataan kontroversial Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bahwa dirinya tak lagi memerlukan media konvensional untuk menyampaikan informasi ke publik, kembali memantik perdebatan tentang relasi kekuasaan, media, dan demokrasi. Dalam forum akademik di Universitas Pakuan Bogor yang disiarkan melalui kanal YouTube UNPAK TV pada 24 Juni 2025, Dedi menyebut bahwa media sosial pribadinya sudah cukup menjangkau masyarakat luas. Baginya, kerja sama dengan media massa bukan lagi kebutuhan primer dalam komunikasi pemerintahan.

Namun, bagi sebagian kalangan, pernyataan tersebut dianggap lebih dari sekadar gaya komunikasi—ia adalah bentuk pengabaian terhadap ekosistem demokrasi.

Kontrol Tunggal: Komunikasi atau Propaganda?

Pengamat kebijakan publik yang juga aktivis 77-78, Syafril Sjofyan, menyebut langkah Dedi Mulyadi sebagai bentuk penyempitan ruang demokrasi. “Media sosial bukan saluran kredibel dalam konteks komunikasi publik yang sehat,” ujar Syafril. Ia mengingatkan bahwa kanal media sosial pribadi pejabat tak melewati proses penyuntingan jurnalistik, tak diverifikasi oleh lembaga independen, dan sepenuhnya dikendalikan oleh tim internal. “Itu bukan ruang publik, tapi ruang propaganda,” tegasnya.

Pernyataan ini menjadi penting karena menyentil esensi pers sebagai watchdog demokrasi. Dalam konteks ini, ketika seorang kepala daerah mengabaikan media sebagai kanal kritik dan justru memonopoli narasi publik lewat akun pribadi, yang lahir bukan komunikasi transparan, melainkan echo chamber berisi dukungan sepihak.

Baca juga:  Layani, Ayomi dan Edukasi (LAE) Merupakan Motto Pos Sawiyatami Satgas Yonif 122/TS

Antara Idealisme dan Realitas Industri Media

Diskursus ini lantas melebar di kalangan jurnalis dan praktisi media lokal di Jawa Barat. Dalam sebuah diskusi ringan tapi tajam di grup percakapan media, sejumlah wartawan menyentil kenyataan bahwa banyak media massa hari ini juga telah kehilangan daya kritis akibat ketergantungan pada kerja sama anggaran pemerintah. “Jangan jual demokrasi, media juga butuh pemerintah… media butuh anggaran,” cetus salah satu jurnalis.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa relasi antara pers dan pemerintah tak selalu ideal. Pers memang semestinya menjadi kontrol, tapi dalam praktiknya, banyak media tunduk pada pola relasi ekonomi yang menjadikan mereka mitra promosi, bukan pengawas kekuasaan.

Kritik lain menyasar ketidaksiapan media beradaptasi dengan disrupsi digital. Kini informasi tak lagi hanya datang dari media arus utama, tapi juga dari akun-akun personal, lembaga resmi, dan kanal alternatif. Di tengah gelombang UU ITE dan keterbukaan informasi publik, fungsi media sebagai gatekeeper mulai terkikis.

“Ini era disrupsi. Tapi media juga harus melakukan otokritik. Jangan hanya menyalahkan pejabat yang tak mau bekerja sama, tapi lihat juga sejauh mana media masih relevan dalam menyuarakan publik, bukan sekadar memoles wajah penguasa,” ucap salah seorang praktisi senior.

Baca juga:  Mie Kocok Ini Sempat Jadi Langganan Dedi Mulyadi, Si Penjualnya Masih Ingat Selera Dedi Mulyadi

Domba, Podcast, dan Jalan Lain

Sarkasme pun menyeruak dari diskusi hangat tersebut. Seorang jurnalis menuliskan, “Kalau media di Jabar sudah terpuruk, solusinya nanti dikasih sepasang domba, titah ngangon.” Candaan yang menggambarkan kepahitan, bahwa profesi jurnalis semakin tak dianggap penting, dan digantikan dengan narasi: semua bisa jadi penyampai informasi.

Sebagian jurnalis mulai mencari jalan keluar. Ada yang menyarankan beralih ke podcast sebagai alternatif ruang bebas, ada pula yang menekankan pentingnya kembali ke semangat jurnalisme investigatif yang merdeka dari relasi finansial dengan dinas-dinas pemerintah.

“Kalau kita ingin tetap jadi media sosial kontrol, kita harus kembali ke idealisme, bukan menunggu anggaran,” ujar seorang kontributor.

Bukan Hanya tentang Dedi

Apa yang diucapkan Dedi Mulyadi bisa jadi hanyalah pemantik dari problem yang lebih dalam: rapuhnya posisi pers dalam lanskap demokrasi digital yang berubah cepat. Ketika pejabat publik merasa cukup dengan Instagram dan TikTok, itu bukan semata kesalahan mereka. Bisa jadi karena mereka tak lagi percaya pada independensi media, atau karena media memang telah kehilangan kredibilitasnya sendiri.

Namun, menyerahkan komunikasi publik sepenuhnya pada akun pribadi pejabat tetaplah berbahaya. Tanpa kanal kritik, tanpa ruang verifikasi, dan tanpa jembatan antara rakyat dan kekuasaan, maka demokrasi kehilangan salah satu fondasinya.

Baca juga:  PP Muhammadiyah Terbawa Arus Kekuasaan Oligarki 

Demokrasi Butuh Kritik, Bukan Komentar

Era digital memang membuka banyak jalan, tapi juga membawa risiko penyempitan ruang dialog. Media sosial bisa menjadi pelengkap, bukan pengganti. Dan pejabat publik tetap punya tanggung jawab moral untuk menjaga ruang publik tetap terbuka—bukan hanya untuk pendukungnya, tapi untuk semua warga negara.

Sementara itu, bagi insan pers, mungkin ini saatnya untuk menyingsingkan lengan baju: kembali menggali fakta, menyuarakan suara-suara kecil, dan menolak tunduk hanya karena anggaran.

Dan jika semua gagal?

Ya, mungkin betul—kita semua akan diberikan sepasang domba. Untuk ngangon. Bersama. Di padang demokrasi yang sedang mengering.