“Oleh karenanya sangat rasional Bahlil diberhentikan dari status sebagai mahasiswa doktoral dan tidak bisa melanjutkan program kuliah doktornya di UI. Untuk itu Bahlil juga berpotensi digugat baik secara perdata atau pidana.” Juju Purwanto Alumni Fakultas Hukum UI Angkatan 82
Porosmedia.com — Polemik dan kekisruhan yang disebabkan kontroversi Gelar Doktor dari Universitas Indonesia (UI) kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM Bahlil Lahadalia sangat memprihatinkan dan berakibat pada tercemarnya nama baik, pengaruh dan reputasi hebat yang dipegang dalam mempertahankan kewibawaan institusi UI selama ini bisa hancur dalam sekejap.
Hal itu dikatakan oleh pengamat pendidikan yang juga alumni Fakultas Hukum UI angkatan 82 Juju Purwantoro, Minggu, 23 Maret 2025. Dikatakannya, perlu diketahui pihak kampus UI sendiri secara tegas bahwa Bahlil belum tuntas menyelesaikan program doktornya. Makanya belum bisa dianggap lulus, malah kasus sudah terlanjur menjatuhkan nama UI, sebelum Bahlil merevisi disertasinya.
Nama besar UI dipertaruhkan karena kasus disertasi Bahlil tersebut. “Sebagai salah seorang alumni Fakultas Hukum UI, penulis jelas tidak dapat menerima kasus disertasi abal-abal itu. Jika memang Bahlil melakukan ‘plagiarisme disertasi’ hal itu sangat menciderai nama ‘Kampus Perjuangan’ kebanggaan para alumninya,” kata laki-laki yang berprofesi sebagai lawyer, yang saat ini sedang menangani pengaduan korban PSN PIK-2 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu.
Sampai saat ini, Juju Purwanto lebih mendalam menyampaikan kepada pihak rektorat UI agar tidak ada upaya mengaburkan (obscur) kasus ini, sehingga menimbulkan kegeraman dan penasaran publik. Tidak boleh! demi seorang Bahlil yang sebagai menteri dan Ketua Umum Golkar, Rektor melanggar nilai-nilai moral kampus, akademik dan profesionalisme. Padahal UI selalu menjaga transparansi kepada publik.
Perlu diingat bahwa Bahlil diduga melakukan plagiarisme dan rekomendasi Dewan Guru Besar (DGB) UI, yang menyebut cara pengambilan data dan penulisan disertasi Bahlil bermasalah.
Walaupun akhirnya Sekolah Kajian Strategik dan Global (SKSG) didukung empat organ UI—Rektor, Dewan Guru Besar, Senat Akademik, dan Majelis Wali Amanat UI tidak menyetujui promosi doktor tersebut untuk dibatalkan dan memutuskan Bahlil tetap harus melakukan revisi disertasinya.
Dewan Guru Besar UI (DGB UI) cenderung mendukung dijatuhkannya sanksi tegas kepada Bahlil, karena secara eksplisit mahasiswa tersebut disertasinya belum dapat diterima.
Hasil rapat (DGB UI) pada 10 Januari 2025 lalu, merekomendasikan kepada pihak universitas untuk tetap membatalkan disertasi Bahlil walaupun keputusan akhir tetap ada pada rektor. Yang jelas, Program Pendidikan (prodi) doktor UI telah memalukan dirinya sendiri, karena selama ini memang tidak pernah terjadi, adanya revisi atas disertasi setelah sidang akhir di hadapan guru besarnya.
“Tampaknya keputusan empat organ yang dikeluarkan pada 4 maret itu mencerminkan adanya pragmatisme, intervensi dan tekanan politik kekuasaan terhadap kampus. Harusnya tetap ada keputusan tegas dari akademisi UI, yang berintegritas dan mandiri. Jangan sampai karena seorang Bahlil, bisa mencemarkan dan ‘mendowngrade’ nama besar UI,” kata salah seorang Presidium Forum AKSI itu.
Belum Bisa Diterima
Ditambahkan, disinyalir keaslian da keabsahan publikasi ilmiah Bahlil juga belum diterima, sehingga masih berkewajiban merevisinya sebagai sanksi akademik. Kelulusan gelar doktor Bahlil tersebut memicu polemik, tuntutan dan protes untuk dibatalkan, terutama dari kalangan alumni UI dan masyarakat intelektual lainnya.
Bahlil, tegas Juju, patut diduga telah melanggar nilai-nilai luhur akademis, tindak pidana berupa manipulasi dan kebohongan atas disertasinya. Hal itu bisa melanggar Pasal 378 KUHP; “meliputi penindakan terhadap perbuatan curang yang dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan tipu muslihat atau serangkaian kebohongan”.
Dijelaskan, secara khusus (lex specialis) jelas diatur dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 112 hingga 119. Lebih lanjut dalam Pasal 25, juga menyatakan “plagiarisme adalah tindak pidana sehingga patut diberikan sanksi pidana”. Lebih lanjut berdasarkan Permendikbudristek No. 39/2021 di Pasal 9 huruf c disebutkan: Tindakan plagiat ini merupakan pelanggaran integritas akademik dalam menghasilkan karya ilmiah.
Lebih lanjut, Pasal 10 ayat (3) menyebutkan plagiat merupakan perbuatan: – mengambil sebagian atau seluruh karya milik orang lain tanpa menyebut sumber secara tepat; sedangkan – Pasal 25 ayat [2] menyebutkan: Jika karya ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti hasil jiplakan, maka gelarnya akan dicabut.
Sementara Pasal 70 UU Sisdiknas, menyatakan tidak hanya dicabut gelarnya, jika terbukti menjiplak karya ilmiah orang lain juga diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta ;
Ditegaskannya, Bahlil patut diduga keras telah melanggar nilai-nilai luhur akademis, tindak pidana berupa manipulasi dan kebohongan data disertasinya. Bahkan pemilik data, yaitu Jatam, sudah mengirimkan surat protes kepada UI. Program kuliah doktornya sangat merugikan dan mencemarkan civitas akademika UI.
“Oleh karenanya sangat rasional Bahlil diberhentikan dari status sebagai mahasiswa doktoral dan tidak bisa melanjutkan program kuliah doktornya di UI. Untuk itu Bahlil juga berpotensi digugat baik secara perdata atau pidana. Dia harus mempertanggung jawab apa yang dilakukannya baik secara moral ataupun pidana,” demikian Juju Purwantoro. (Kba).