Porosmedia.com – Kobaran perang Makassar pada abad ke-17, ketika tanah Gowa bergolak oleh gempuran kolonialisme Belanda melalui Kompeni Dagang Hindia Timur (VOC), muncul sosok perempuan tangguh yang namanya diabadikan dalam ingatan kolektif rakyat Makassar: I Fatimah Daeng Takontu, yang bergelar Karaeng Campagaya.
I Fatimah adalah putri tunggal dari Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke-16 yang legendaris dengan julukan “Ayam Jantan dari Timur”. Ia lahir pada 10 September 1659 dari pernikahan sang sultan dengan I Daeng Takele dari Sanrobone, keturunan bangsawan Tanete. Dibesarkan dalam lingkungan istana, I Fatimah mendapat pendidikan yang komprehensif, mulai dari adat istiadat, strategi pemerintahan, hingga nilai-nilai kepemimpinan dan keberanian.
Sebagai Karaeng (gelar bangsawan tinggi), ia memimpin wilayah Campagaya, sebuah daerah penting dalam sistem pertahanan Kesultanan Gowa. Keberadaannya di wilayah ini kelak menjadikannya tokoh sentral dalam perlawanan rakyat terhadap agresi VOC yang berambisi menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di kawasan timur Nusantara.
Ketika perang Makassar meletus dan Belanda mulai mengepung benteng-benteng pertahanan Gowa, I Fatimah tidak memilih berlindung di balik tembok istana. Ia justru turun ke garis depan, memimpin langsung pasukan perempuan dan rakyat Campagaya dalam mempertahankan tanah airnya.
Ia tidak hanya menjadi pemimpin simbolik, tetapi aktif menyusun strategi perang, memberikan instruksi militer, dan mengobarkan semangat perlawanan. Dikisahkan dalam tradisi lisan, I Fatimah menunggang kuda, mengangkat tombak, dan meneriakkan semangat kepada pasukannya di tengah desingan peluru musuh. Kepemimpinan dan keberaniannya membuat rakyat menjulukinya sebagai “Garuda Betina dari Timur”, sebutan yang diyakini pernah diucapkan oleh seorang penyair Belanda sebagai pengakuan atas kegigihannya, sejajar dengan ayahandanya yang ditakuti VOC.
Saat Benteng Campagaya dikepung dan hampir jatuh ke tangan musuh, I Fatimah memilih tetap bertahan. Ia menolak menyerah, bahkan ketika logistik dan bantuan semakin terbatas. Menurut kisah rakyat, ia menyatakan lebih baik mati sebagai pejuang daripada hidup menyaksikan kehancuran negerinya.
Dalam versi lain yang beredar, ia akhirnya ditangkap oleh pasukan VOC dan diasingkan ke luar wilayah Gowa karena dianggap sebagai ancaman besar yang bisa membangkitkan semangat perlawanan rakyat. Hingga kini, tak ada catatan resmi dari VOC yang mendokumentasikan kisah hidupnya secara lengkap—sebuah penghilangan sejarah yang tak asing dalam narasi kolonialisme.
Meski jejak sejarah tertulisnya samar dalam dokumen kolonial, nama I Fatimah Daeng Takontu hidup dalam cerita rakyat, syair Makassar, dan ingatan budaya lokal. Ia menjadi representasi keberanian perempuan dalam perjuangan kemerdekaan—sosok yang menunjukkan bahwa dalam gejolak sejarah, perempuan bukan hanya pengiring, tetapi pemimpin sejati yang turut mengubah arah zaman.
Hari ini, generasi muda Makassar dan Indonesia mengenangnya sebagai simbol kekuatan, keteguhan hati, dan nasionalisme perempuan Nusantara. Keberadaannya melampaui batas-batas gender dan zaman, menjadi inspirasi bagi setiap jiwa yang merindukan keadilan dan kebebasan.
“Ketika sejarah menyingkirkan suara perempuan, kisah I Fatimah Daeng Takontu tetap bergema dalam semangat rakyat yang tak tunduk pada penjajahan.”
Tagar: #SukuMakassar #KesultananGowaTallo #KaraengCampagaya #IFatimahDaengTakontu #SultanHasanuddin #PerempuanPejuang #GarudaBetinaDariTimur #PahlawanMakassar #SejarahNusantara #PerlawananVOC