Berita  

Gagasan Ganjar : Selesaikan Masalah Konflik Laut Cina Selatan jangan sampai Berkepanjangan

"Masalah perbatasan itu klaimnya tidak ada didasarkan pada hukum, dan banyak negara hanya mengklaim dari sejarah saja. Maka apa yang dilakukan Tiongkok secara hukum tidak dibenarkan," Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum Indonesia, Hikmahanto Juwana

Avatar photo

Porosmedia.com – Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan Tiongkok masih dianggap persoalan terkait Laut Cina Selatan (LCS). Seperti persoalan negosiasi kode etik Laut Cina Selatan (LCS) antara Tiongkok dan ASEAN.

“Masalah perbatasan itu klaimnya tidak ada didasarkan pada hukum, dan banyak negara hanya mengklaim dari sejarah saja. Maka apa yang dilakukan Tiongkok secara hukum tidak dibenarkan,” katanya dalam perbincangan Pro3 RRI, Sabtu (19/8/2023).
Hikmahanto juga mengatakan bahwa Laut Cina Selatan sendiri sampai saat ini masih menjadi sengketa antara Vietnam, Malaysia dan juga Brunei Darussalam. Sengketa ini dikhawatirkan jika tidak terselesaikan dan akan menimbulkan dampak yang buruk bagi ASEAN.
“Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam yang merupakan Zona Ekonomi Eksklusif tidak terima dengan adanya klaim negara tentangga. Itu jadi persoalan,” katanya kembali.
Menurutnya dalam konvensi hukum laut itu tidak diakui klaim dari Cina sebab tidak ada basis. Maka dari itu, dalam hal ini harus ada aturan secara rigid, walaupun pengaturan seperti itu akan memakan waktu.
“Seperti yang kita tahu kapal-kapal nelayan Cina itu sampai ke yang 9 garis putus. Itu bisa menjadi kudeta yang bisa mengakibatkan implikasnya menjadi buruk yaitu bisa terjadinya perang,” ucap Hikmahanto.
“Maka dari itu harus ada tindakan penangkapan yang mana menurut undang-undang ini angkatan laut bisa melakukan penegakan hukum,” katanya lagi.

Masih dalam kaitan pembahasan Laut Cina Selatan. di Debat Calon Presiden ke tiga, Minggu 7 Desember 2024, yang di gagas Komisi Pemilihan Umum.

Dmgagasan muncul pada Calon Presiden dari Partai pengusung yakni PDIP, PPP, Perindo, Hanura Ganjar Pranowo untuk menyelesaikan konflik Laut Tiongkok Selatan yang dinilai pemerhati keamanan dan pertahanan negara dinilai tepat.

Baca juga:  Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp (Ak): Vaksin HPV untuk Mencapai Eliminasi Kanker Serviks pada tahun 2030

Hal ini dikhawatirkan Ganjar Pranowo akan menjadi masalah yang berkepanjangan serta melibatkan sejumlah negara.

Sepertinya berkaitan. Langsung Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke tiga negara di Asia Tenggara, salah satunya Filipina. Jokowi mengatakan salah satu topik yang bakal dibahas adalah soal konflik di Laut China Selatan saat bertemu dengan Presiden Filipina Bongbong Marcos. Hal ini disampaikan Presiden kemarin (9/1/2024).

Isu konflik Laut Tiongkok Selatan kembali mencuat pada Debat Ketiga Pilpres 2024 yang bertema Pertahanan dan Keamanan, Politik Luar Negeri, Globalisasi, dan Hubungan Internasional, diikuti tiga Capres, yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo.

Ganjar menggagas tiga solusi Indonesia untuk mengatasi konflik berkepanjangan di Laut Tiongkok Selatan, yang melibatkan Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Negara-negara itu merasa berkepentingan untuk memperebutkan wilayah kawasan laut dan daratan dua gugusan kepulauan Paracel dan Spratly.

”Mas Ganjar menawarkan solusi segera, yaitu kesepakatan sementara. Ini hal baru dalam strategi menangani ketegangan Laut Tiongkok Selatan,” kata Deputi Politik 5.0 TPN Ganjar-Mahfud, Andi Widjajanto di TPN Ganjar-Mahfud, Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (8/1/2024).

Baca juga:  Idham Kholik Bercanda di Pemutaran Film Kejarlah Janji Bareng Cut Mini

“Kita juga bisa memakai mekanisme yang ada di ASEAN Forum, Preventive Diplomacy, misalnya Malaysia ingin mengadakan latihan tempur, harus berkoordinasi dengan negara-negara di sekitarnya dengan harapan negara-negara di sekitar Laut Tiongkok Selatan saling menahan diri satu sama lainnya,” kata mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) itu.

Mantan Gubernur Lemhanas tersebut juga mengemukakan, jika Ganjar-Mahfud terpilih memimpin negara ini. Maka, Indonesia akan menggunakan hak berdaulat di Laut Natuna utara, dengan mengeksplorasi gas yang ada di kawasan tersebut.

Dihubungi terpisah, pemerhati ketahanan nasional dari Makara Strategic Insight, Andre Priyanto, menilai gagasan Ganjar untuk melakukan kesepakatan sementara untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan terjadi di wilayah itu, cukup strategis. Mengingat politik tarik-ulur yang dilakukan Tiongkok selama ini.

“Ini, sesuatu yang baru ya, dan kalau kita mau merujuk kepada arahan Presiden Joko Widodo agar Indonesia melakukan soft diplomacy, saya kira hal ini cukup relevan,” ujar Andre saat ditemui di kampus UI Depok, Jawa Barat. Menurutnya gagasan Ganjar mirip dengan teori hubungan internasional yang dikemukakan Kenneth Waltz dalam bukunya Theory of International Politics..

Baca juga:  Raih Predikat UHC, Tangsel Dapat Penghargaan dari BPJS Kesehatan

“Kenneth Waltz (1979) memiliki perspektif neorealisme, negara-negara akan berusaha mempertahankan dan memperkokoh kekuatannya untuk melindungi kepentingan nasional dan memperoleh keuntungan relatif. Hal ini mencakup pengembangan kemampuan militer, pembentukan aliansi, dan pencarian pengaruh politik di tingkat global,” papar alumnus Kajian Ketahanan Nasional, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia itu.

Waltz mendukung pendekatan sistemik, yaitu struktur internasional bertindak sebagai pengekang perilaku negara, sehingga hanya negara yang kebijakan-kebijakan-nya berada dalam cakupan yang diharapkan dapat bertahan.

Neorealisme dan Hubungan Internasional

Andre berpendapat, konflik di Laut Cina Selatan bisa dianalisis melalui lensa neorealisme atau realisme struktural. Pemahaman ini menyoroti struktur dalam sistem internasional, di mana negara-negara bersaing untuk keamanan dan kepentingan nasional mereka. Penguatan pertahanan Indonesia dapat dipahami sebagai respons terhadap dinamika keamanan regional yang kompleks.

“Perbedaan neorealisme dengan realisme adalah pada aktor yang berperan di dalam sistem internasional. Jika pada realisme utama dalam sistem internasional adalah negara bangsa (nation-state), maka pada neorealisme aktornya adalah sistem itu sendiri,” ujar Andre. (*)