Porosmedia.com – Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan Tiongkok masih dianggap persoalan terkait Laut Cina Selatan (LCS). Seperti persoalan negosiasi kode etik Laut Cina Selatan (LCS) antara Tiongkok dan ASEAN.
Masih dalam kaitan pembahasan Laut Cina Selatan. di Debat Calon Presiden ke tiga, Minggu 7 Desember 2024, yang di gagas Komisi Pemilihan Umum.
Dmgagasan muncul pada Calon Presiden dari Partai pengusung yakni PDIP, PPP, Perindo, Hanura Ganjar Pranowo untuk menyelesaikan konflik Laut Tiongkok Selatan yang dinilai pemerhati keamanan dan pertahanan negara dinilai tepat.
Hal ini dikhawatirkan Ganjar Pranowo akan menjadi masalah yang berkepanjangan serta melibatkan sejumlah negara.
Sepertinya berkaitan. Langsung Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke tiga negara di Asia Tenggara, salah satunya Filipina. Jokowi mengatakan salah satu topik yang bakal dibahas adalah soal konflik di Laut China Selatan saat bertemu dengan Presiden Filipina Bongbong Marcos. Hal ini disampaikan Presiden kemarin (9/1/2024).
Isu konflik Laut Tiongkok Selatan kembali mencuat pada Debat Ketiga Pilpres 2024 yang bertema Pertahanan dan Keamanan, Politik Luar Negeri, Globalisasi, dan Hubungan Internasional, diikuti tiga Capres, yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo.
Ganjar menggagas tiga solusi Indonesia untuk mengatasi konflik berkepanjangan di Laut Tiongkok Selatan, yang melibatkan Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Negara-negara itu merasa berkepentingan untuk memperebutkan wilayah kawasan laut dan daratan dua gugusan kepulauan Paracel dan Spratly.
”Mas Ganjar menawarkan solusi segera, yaitu kesepakatan sementara. Ini hal baru dalam strategi menangani ketegangan Laut Tiongkok Selatan,” kata Deputi Politik 5.0 TPN Ganjar-Mahfud, Andi Widjajanto di TPN Ganjar-Mahfud, Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (8/1/2024).
“Kita juga bisa memakai mekanisme yang ada di ASEAN Forum, Preventive Diplomacy, misalnya Malaysia ingin mengadakan latihan tempur, harus berkoordinasi dengan negara-negara di sekitarnya dengan harapan negara-negara di sekitar Laut Tiongkok Selatan saling menahan diri satu sama lainnya,” kata mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) itu.
Mantan Gubernur Lemhanas tersebut juga mengemukakan, jika Ganjar-Mahfud terpilih memimpin negara ini. Maka, Indonesia akan menggunakan hak berdaulat di Laut Natuna utara, dengan mengeksplorasi gas yang ada di kawasan tersebut.
Dihubungi terpisah, pemerhati ketahanan nasional dari Makara Strategic Insight, Andre Priyanto, menilai gagasan Ganjar untuk melakukan kesepakatan sementara untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan terjadi di wilayah itu, cukup strategis. Mengingat politik tarik-ulur yang dilakukan Tiongkok selama ini.
“Ini, sesuatu yang baru ya, dan kalau kita mau merujuk kepada arahan Presiden Joko Widodo agar Indonesia melakukan soft diplomacy, saya kira hal ini cukup relevan,” ujar Andre saat ditemui di kampus UI Depok, Jawa Barat. Menurutnya gagasan Ganjar mirip dengan teori hubungan internasional yang dikemukakan Kenneth Waltz dalam bukunya Theory of International Politics..
“Kenneth Waltz (1979) memiliki perspektif neorealisme, negara-negara akan berusaha mempertahankan dan memperkokoh kekuatannya untuk melindungi kepentingan nasional dan memperoleh keuntungan relatif. Hal ini mencakup pengembangan kemampuan militer, pembentukan aliansi, dan pencarian pengaruh politik di tingkat global,” papar alumnus Kajian Ketahanan Nasional, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia itu.
Waltz mendukung pendekatan sistemik, yaitu struktur internasional bertindak sebagai pengekang perilaku negara, sehingga hanya negara yang kebijakan-kebijakan-nya berada dalam cakupan yang diharapkan dapat bertahan.
Neorealisme dan Hubungan Internasional
Andre berpendapat, konflik di Laut Cina Selatan bisa dianalisis melalui lensa neorealisme atau realisme struktural. Pemahaman ini menyoroti struktur dalam sistem internasional, di mana negara-negara bersaing untuk keamanan dan kepentingan nasional mereka. Penguatan pertahanan Indonesia dapat dipahami sebagai respons terhadap dinamika keamanan regional yang kompleks.
“Perbedaan neorealisme dengan realisme adalah pada aktor yang berperan di dalam sistem internasional. Jika pada realisme utama dalam sistem internasional adalah negara bangsa (nation-state), maka pada neorealisme aktornya adalah sistem itu sendiri,” ujar Andre. (*)