Dogma: Antara Penjaga Keyakinan dan Alat Kendali

Avatar photo
Oleh: Ayi Koswara – Balanced Path Academy

Porosmedia.com – Ketika iman tidak boleh dipertanyakan, di situlah kuasa menggantikan makna. Kalimat ini mencerminkan kondisi keagamaan dan sosial kita hari ini. Di banyak ruang spiritual – dari podium hingga ruang kelas – pertanyaan atas ajaran tertentu kerap dianggap sebagai ancaman. Bukan dialog yang muncul, tapi tudingan: “Kau lemah iman.”

Dogma, dalam pengertian dasarnya, adalah ajaran yang diterima sebagai kebenaran mutlak – tidak boleh ditanya, apalagi digugat. Ia bukan hanya produk teologis, tapi juga sosial dan politis. Dalam banyak kasus, dogma lebih sering menjadi alat kontrol ketimbang sarana pencerahan.

Pernahkah kita mendengar ungkapan seperti:

“Pokoknya harus percaya.”
“Kalau kamu bertanya, berarti kurang iman.”
“Itu sudah harga mati.”

Ungkapan-ungkapan ini mengunci nalar. Padahal, dalam sejarah wahyu Islam sendiri, proses tanya-jawab justru menjadi mekanisme utama penyampaian ilmu – antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad ﷺ. Pertanyaan adalah awal dari pemahaman. Lalu mengapa hari ini pertanyaan justru diasingkan?

Di sinilah penting membedakan antara iman dan dogma.
Iman adalah kesadaran yang tumbuh.
Dogma adalah keharusan yang ditanamkan.

Baca juga:  Bandung Siaga Api: Infrastruktur Masih Lemah, Kolaborasi Harus Lebih Nyata

Iman menghidupkan pencarian. Dogma mengandalkan kepatuhan. Bedanya tipis, tapi dampaknya sangat besar.

Sejarah mencatat, banyak ritual keagamaan hari ini sejatinya adalah produk akulturasi budaya lokal yang kemudian “disyariatkan”. Banyak tokoh besar dalam lintasan sejarah Islam – dari filsuf, sufi, hingga pembaharu – justru pernah ditolak karena mempertanyakan ajaran yang mapan.

Pertanyaannya: siapa yang menetapkan bahwa pertanyaan mereka salah? Dan siapa yang memiliki hak untuk menghakimi pencarian spiritual orang lain?

Bahaya dogma yang tak terkendali adalah ketika ia menjelma menjadi legitimasi kekuasaan.
Segala sesuatu yang dianggap “turun dari langit” tidak boleh dikaji, sementara manusia yang naik dari bumi mulai mengklaim diri sebagai juru bicara Tuhan. Di titik ini, dalil bukan lagi sumber kebenaran – suara terbanyak, atau kekuasaan terkuatlah yang menang.

“Maka, ketika dogma mengunci akal, iman pun kehilangan ruhnya”.

Beriman bukan berarti berhenti berpikir.
Beriman berarti terus mencari, menggali, dan memahami – agar keyakinan kita tidak sekadar diwariskan, tapi disadari sepenuhnya.

Baca juga:  Seminar Edupreneur PAUD di Garut: Dorong Profesionalisme dan Kemandirian Pengelola Lembaga Pendidikan Usia Dini

Dogma bisa menjadi pagar keyakinan. Tapi ia juga bisa jadi tembok perampas kebebasan berpikir. Tugas kita hari ini adalah merawat iman tanpa mengorbankan akal.

Artikel ini merupakan bagian dari serial refleksi Balanced Path Academy, yang mengajak publik untuk melihat ulang hubungan antara ajaran, budaya, dan kesadaran spiritual dalam dunia modern.

-Ayi Koswara
Founder, Balanced Path Academy
Penulis & Pengamat Transformasi Sosial-Beragama