Dispora Bandung dan Aib Hibah Pramuka: Antara Pertanggungjawaban dan Momentum Reformasi

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Kota Bandung kembali diguncang oleh skandal korupsi. Kali ini, kasus tersebut menghantam jantung kepemudaan dan keolahragaan kota: Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora). Kepala dinasnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat atas dugaan korupsi dana hibah untuk Gerakan Pramuka. Peristiwa ini bukan hanya mencoreng institusi pemerintah daerah, tapi juga meruntuhkan nilai-nilai pembinaan karakter dan kepemimpinan pemuda yang selama ini digadang-gadang melalui gerakan pramuka.

Namun pertanyaan yang lebih penting bukan sekadar “siapa yang bersalah?”, melainkan: harus bagaimana Dispora setelah ini? Sejauh mana Walikota, Wakil Walikota, dan Sekda berani mengambil langkah tegas?

Skema hibah dari pemerintah daerah ke organisasi masyarakat sipil seperti Pramuka seharusnya menjadi instrumen pemberdayaan, bukan sumber bancakan. Tapi realitas yang terjadi justru sebaliknya: dana publik dijadikan alat pembagian rente, tanpa pengawasan dan akuntabilitas yang memadai.

Dalam kasus ini, setidaknya 19 saksi telah diperiksa, termasuk para pejabat dan pengurus organisasi penerima hibah. Dugaan penyimpangan mengemuka sejak 2017 dan mencuat kembali pada 2022, namun baru kini menyeret kepala Dispora ke status tersangka. Ini menunjukkan adanya kelalaian sistemik dan lemahnya pengawasan dalam pengelolaan hibah publik.

Baca juga:  Sejarah Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Utang Pemerintah 

Walikota Muhammad Farhan dan Wakil Walikota Erwin harus bergerak melampaui narasi penyesalan atau seruan moral. Mereka sudah memulai dengan cukup baik — menjalin kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menyampaikan komitmen terhadap transparansi pada forum-forum publik.

Namun itu saja tidak cukup. Apa hasil konkret dari komitmen tersebut? Apakah sudah ada audit menyeluruh terhadap seluruh dana hibah yang dikelola Dispora? Sudahkah sistem penganggaran hibah didigitalisasi dan bisa diakses publik?

Sekda Kota Bandung sebagai pemegang kendali administrasi birokrasi juga memiliki tanggung jawab besar. Reformasi birokrasi tidak akan berjalan jika hanya berhenti pada pernyataan, tanpa aksi struktural yang menyentuh sistem dan mentalitas para pejabat.

Kasus ini harus menjadi titik balik bagi reformasi menyeluruh di tubuh Dispora. Ada tiga langkah mendesak yang harus segera diambil:

1. Audit Forensik Terbuka
Audit internal yang transparan terhadap dana hibah tahun 2017–2024 wajib dilakukan, dengan melibatkan BPK, APIP, dan bahkan KPK. Hasilnya harus diumumkan ke publik dan dijadikan bahan evaluasi bersama.

Baca juga:  Tentang Pengeras Suara

2. Digitalisasi dan Transparansi Dana Hibah
Pengelolaan hibah tidak boleh lagi manual dan elitis. Proses seleksi proposal, pencairan, hingga pelaporan pertanggungjawaban harus terintegrasi dalam sistem digital yang bisa diakses publik, seperti Bandung Command Center atau portal khusus hibah.

3. Sanksi Tegas dan Reformasi SDM
Siapa pun yang terlibat, termasuk di level internal Pramuka, harus ditindak sesuai hukum dan etika birokrasi. Mutasi besar-besaran terhadap pejabat yang terbukti lalai bisa menjadi terapi kejut bagi sistem yang bebal.

Dispora tidak boleh hanya menjadi cerita buruk di media. Ia harus dibalikkan menjadi contoh keberanian berbenah dan menjadi proyek percontohan integritas birokrasi di Kota Bandung. Apabila Pemkot konsisten menjalankan langkah-langkah tersebut, maka publik akan melihat bahwa Bandung tidak hanya bisa bangga dalam tagline “kota kreatif”, tapi juga sebagai kota dengan tata kelola pemerintahan yang bersih.

Sebaliknya, jika kasus ini hanya menjadi rutinitas hukum tanpa perubahan struktural, maka jangan salahkan publik jika akhirnya kehilangan kepercayaan pada program-program kepemudaan, bahkan pada institusi pramuka sekalipun.

Baca juga:  Prof Anton Minardi : Warga sebetulnya ingin tentram dan keberatan atas tidak Transparannya