Dinamika Dedi Mulyadi vs Ono Surono: Perseteruan Dua Polarisasi Politik Jawa Barat

Avatar photo

Porosmedia.com – Di balik gemuruh panggung politik Jawa Barat, dua nama mencuat sebagai pusat tarik-menarik kekuatan: Dedi Mulyadi dan Ono Surono. Keduanya bukan sekadar politisi biasa, tetapi representasi dari dua arah politik yang bertolak belakang—satu mengakar di populisme lokal dan spiritualitas budaya, lainnya menjulang dalam struktur formal partai dan kalkulasi elektoral nasional. Perseteruan mereka bukan sekadar perang urat saraf, melainkan pertarungan ideologi, narasi, dan basis massa. Dan semua itu kini terangkum dalam satu kata: konten.

Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta dan anggota DPR RI, yang sekarang menjabat Gubernur Jawa Barat telah menjelma menjadi fenomena politik yang sulit dibungkam. Ia bukan hanya politisi, tetapi juga content creator—dengan jutaan pengikut, narasi kampung, dan visualisasi budaya Sunda yang menggugah rasa. Ia menyapa rakyat dari sawah ke pasar, dari makam keramat hingga tempat ritual adat. Ia memainkan emosi publik lewat pendekatan humanistik—antara kesederhanaan dan keagungan budaya lokal.

Namun, di situlah juga kontroversinya. Dedi tak segan meledek formalisme politik arus utama. Ia membongkar citra elitis partai, bahkan kerap menyinggung “politisi yang hanya jago di kantor, tapi tak bisa ngubek got bersama rakyat.” Tak pelak, ini menjadi bahan bakar konflik dengan politisi lain yang merasa disindir, termasuk musuhnya kini, Ono Surono.

Baca juga:  Pemprov Jabar Didorong Segera melakukan Inventarisasi Bangunan Berpotensi Merusak Alam dan Lingkungan

Ono Surono adalah kader tulen PDI Perjuangan. Ia Ketua DPD PDIP Jawa Barat dan juga Wakil Ketua DPRD Jabar. Dalam dirinya, tersimpan spirit ideologis partai berlambang banteng. Ono bukan sekadar politisi struktural; ia adalah teknokrat partai yang teguh pada garis organisasi. Baginya, kerja politik adalah kerja sistemik, bukan panggung personalisasi.

Pernyataan dan gerakan Ono kerap mengarah ke sikap tegas terhadap kader yang “melenceng.” Saat Dedi bergeser dari Golkar dan makin menunjukkan pendekatan politik personal berbasis konten, Ono tak ragu mengkritik. Bahkan, dalam berbagai kesempatan ia menyebut gaya Dedi sebagai bentuk “politik pencitraan” yang membahayakan etika politik.

Perseteruan mereka kini beralih ke ranah yang paling brutal dan demokratis: media sosial. Dedi unggul di TikTok, YouTube, dan Facebook dengan konten-konten viral yang menyentuh rakyat kecil. Ono melawan lewat pernyataan resmi, media arus utama, hingga forum-forum politik resmi partai. Dedi menyentuh hati rakyat, Ono mengisi otoritas partai.

Konflik terbuka terjadi ketika Dedi mengisyaratkan ingin maju dalam Pilgub Jabar 2024 tanpa kendaraan partai yang jelas. Ono, dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPD PDIP Jabar, langsung menyatakan ketidaktertarikan partainya untuk mendukung figur “populer tapi tidak loyal.” Bagi Ono, politik bukan soal viralitas. Bagi Dedi, justru politik yang hanya sibuk di kantor dan tak dekat rakyat adalah pengkhianatan terhadap demokrasi.

Baca juga:  SIREKAP yang makin SIKAREP

Pertarungan Dedi dan Ono bukan sekadar soal kursi. Ini adalah simbol pergeseran paradigma politik Jawa Barat:

Dedi merepresentasikan politik massa baru, berbasis empati, narasi lokal, dan media digital.

Ono mewakili politik struktural, berbasis mesin partai, loyalitas, dan kesatuan ideologis.

Keduanya sama-sama kuat. Tapi kekuatan mereka menyasar audiens berbeda. Dedi pada rakyat langsung. Ono pada struktur dan elit.

Hingga kini, belum ada tanda-tanda bahwa keduanya akan berdamai. Justru tensi terus meningkat. Yang menarik, perseteruan ini tidak hanya mencerminkan rivalitas pribadi, tetapi juga fragmentasi dalam tubuh partai besar, khususnya antara PDIP dan Gerindra, bahkan antar faksi di dalam partai sendiri.

Dedi yang kini digadang-gadang bisa didukung rakyat dalam jenjang yang lebih tinggi, tetap bergerak tanpa menunggu restu. Sementara Ono menegaskan bahwa politik bukan panggung one man show.

Pertanyaannya kini: apakah rakyat Jawa Barat akan lebih memilih pemimpin dengan rekam jejak populis dan spiritual seperti Dedi? Ataukah akan tetap loyal pada struktur dan garis partai seperti yang dijaga oleh Ono?

Baca juga:  Relawan Sahabat Dada Rosada sadar siap memenangkan Arfi Yena

Yang jelas, politik Jawa Barat sedang mengalami gejolak identitas—antara akar dan struktur, antara konten dan konstitusi.

Dan di tengah konflik ini, satu hal pasti: rakyatlah yang akan menilai siapa yang pantas, bukan hanya viral.